https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Bisnis

Setelah Tak Melulu Jualan Bahan Mentah

Setelah Tak Melulu Jualan Bahan Mentah

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung saat mencoba kendaraan yang sedang test drive B50. foto: ist

USD32,8 miliar. Segitulah duit yang dinikmati oleh negara importir minyak sawit pada 2013-2014. Duit itu disebut income generating, lantaran di negaranya, importir ini mengolah minyak sawit tadi menjadi ragam turunan. 

Kalau duit itu dirupiahkan, nilainya mencapai Rp459,2 triliun. Dengan catatan, pada masa itu nilai tukar rupiah 14.000.

Yang menghitung income generating itu bukan peneliti Indonesia, tapi Studi European Economics yang hasilnya dirilis pada tahun 2016. 

PalmOil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) kemudian membikin analisisnnya pada pertengahan tahun lalu dengan judul; 21 Isu Industri Sawit Dalam Isu Ekonomi.  

Dalam analisis itu PASPI menyebut bahwa Uni Eropa,  menjadi penikmat terbesar income generating itu; mencapai 18.7 persen. China 17 persen, India 16,7 persen, Afrika 13,5 persen, Pakistan dan Bangladesh 10,1 persen, USA 7,3 persen, dan negara-negara lain 17 persen.

Pemerintahan Jokowi nampaknya tak mau berlama-lama menengok kenyataan itu. Makanya tahun 2015, dibikinlah kebijakan hilirisasi domestik yang terintegrasi dengan kebijakan perdagangan internasional. 

Ada 4 tujuan utama hilirisasi tadi. Satu; meningkatkan nilai tambah di dalam negeri; Dua; mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar minyak sawit dunia; Tiga; merubah komposisi ekspor Indonesia dari dominasi bahan mentah menjadi produk olahan.

 

 
"Empat; substitusi impor untuk produk-produk yang dapat digantikan oleh produk olahan dari sawit," Direktur Eksekutif PASPI, Tungkot Sipayung, merinci.

Ada tiga jalur hilirasi yang kemudian dibikin oleh pemerintah; Oleofood Complex, Oleochemical Complex, dan Bioenergy Complex.  

Program ini nampaknya enggak main-main. Sebab kemudian pemerintah membikin kebijakan perdagangan luar negeri yang memunculkan apa yang disebut dengan Pungutan Ekspor (PE). 

Tujuan yang kelihatan dari lahirnya PE ini adalah menghadang pengiriman bahan mentah ke luar negeri dan mempercepat hilirisasi domestik. Ini kentara dari skema yang ada. Semakin ke hilir bahan yang diekspor, makin kecil PE nya. 

Skema ini berhasil. Pengiriman bahan mentah yang sering disebut dengan Crude Palm Oil (CPO) itu, menurun drastis. Dari yang tadinya 23 persen pada 2015, menjadi 10,5 persen pada 2022 dan bahkan menjadi sekitar 7 persen pada 2023. Adakah yang rugi?

Husen at al pada tahun lalu merilis, setiap penurunan 5 persen ekspor CPO akan meningkatkan ekspor produk hilir 15 persen, dan ini kemudian meningkatkan devisa ekspor sebesar USD 7 milyar per tahun.

Yang kemudian membikin geliat industri sawit nasional semakin moncer, PE tadi direinvestasikan pula ke industri sawit itu.   

Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas industri sawit maupun substitusi impor. Misalnya program peremajaan sawit rakyat, sarana prasarana, riset dan pengembangan, promosi dan advokasi, pendidikan SDM, dan insentif biodiesel. 

Yang terakhir ini gunanya untuk substitusi impor solar fosil. Artinya, upaya mengurangi ketergantungan pada impor solar fosil, meningkatkan nilai tambah domestik dan mengurangi emisi karbon. 

Untuk mengelola semua program inilah kemudian lahir Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada Juni 2015.  

BPDPKS lahir, petani kemudian bisa menikmati apa yang disebut dengan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), termasuklah beasiswa untuk ribuan anak-anak petani. 

Sayang, duit tak banyak diserap oleh PSR lantaran 'peternakan' masalah pada legalitas lahan petani, dikelola dengan baik. 

Meski begitu, oleh integrasi program di atas, nilai ekspor sawit pada 2022 meningkat tajam. Dari yang tadinya hanya USD18,6 miliar di 2015, menjadi USD39 miliar di 2022.

Devisa impor pun melonjak tajam oleh mandatori  biodiesel yang sudah sampai pada B30 di tahun 2022. Tahun 2015, devisa impor --- devisa substituti impor solar fosil --- itu masih USD0,5 miliar. Tapi di 2022 sudah membengkak menjadi USD10,3 miliar. 

Oleh keberadaan sawit ini pula, pada 2022, Net Ekspor Non-Migas kata PASPI mengalami surplus besar. Dari hanya USD13,6 miliar pada 2015, menjadi USD78,8 miliar di 2022. 

Sementara Net Trade tanpa sawit dan B30 di 2022, surplus yang didapat hanya USD6,3 miliar. Tapi kalau dengan sawit dan B30, justru menjadi USD55,7 miliar. 

PASPI mengatakan, Surplus net trade tahun 2022 itu, menjadi net trade tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. 


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkait