https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Inovasi

Cerita Miris Helm Sawit Bikinan Siti

Cerita Miris Helm Sawit Bikinan Siti

Model helm industri yang diproduksi oleh Siti. foto: ist

Helm yang diproduksi oleh Siti sebanding dengan helm berbahan polimer fiber glass. Sudah berstandar SNI. Dibikin dari campuran polimer dan fiber hasil treatment janjangan kosong. Tapi sulit laku ke perkebunan sawit. 

Dimana-mana orang sawit selalu bilang, "Mari kita jaga sawit kita". "Sawit adalah kita". No Palm Oil No Life", dan sederet slogan lain. 

Tapi slogan ini kayaknya masih sekadar slogan. Sebab kenyataan yang ada, produk berbasis sawit yang dibikin oleh Siti Nikmatin saja, bisa dibilang enggak menarik bagi mereka.  

Padahal kalau dipikir-pikir, helm proyek bikinan dosen IPB University ini, sangat dibutuhkan di perkebunan kelapa sawit, khususnya perkebunan kelapa sawit milik perusahaan. 

Tapi kenyataan yang ada, dari 2000 helm proyek yang diproduksi doktor biomaterial ini, paling laku antara 100-200 helm. Sementara harganya bisa dibilang murah. Cuma di kisaran Rp75 ribu hingga Rp100 ribu. 

"Saya enggak tahu persoalannya ada dimana. Padahal inikan dari sawit kembali ke sawit," bergetar suara perempuan 47 tahun ini cerita. 

Asal tahu saja, walau harga helm proyek bikinan Siti ini murah, kualitasnya enggak sembarangan lho. Dibikin dari komposit polimer fiber serat janjangan kosong (jangkos). 

Kekuatannya sebanding dengan helm berbahan komposit polimer fiber glass yang dipakai oleh para pebalap MotoGP itu. 

Polimernya pun pakai level yang paling tinggi; Acrylonitrile butadiene styrene (ABS). Lho, kok bisa murah?  

Hehehe...sebelum cerita lebih jauh, simak juga perbandingan ini. Helm pemotor yang bahannya dari polimer fiber glass, harganya di atas Rp1 juta. 

 

Tapi helm pemotor bikinan Siti, harganya cuma Rp250 ribu. Sama dengan harga helm pesepeda. Bahan kedua helm ini, termasuk helm proyek tadi,  kenaikan sifat mekanis atau kualitasnya, sebanding dengan helm polimer fiber glass tadi. 

Kenapa bisa jauh lebih murah? Yuk, simak ceritanya. Medio 2014-2015 silam, Siti bersama sejumlah orang dari IPB, bertandang ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik PT. Perkebunan Nusantara VIII di kawasan Cikasungka, Bogor, Jawa Barat (Jabar). 

Di sana Siti menengok onggokan Jangkos. Penampakan ini persis sama dengan apa yang kemudian dia tengok di lain waktu di dua PKS yang ada di kawasan Sumatera Selatan (Sumsel).  
 
Menengok onggokan itu, otaknya langsung berputar. "Diapain bagusnya jangkos ini ya? Hhhmmm...Harus bisa jadi produk yang dipakai banyak orang nih dan secara keilmuan, bisa dipertanggungjawabkan," dia membatin. 

Siti berpikiran seperti itu lantaran dia paham bahwa setiap hari jangkos ini terus bertambah. Maklum, jika PKS menghasilkan satu ton CPO, maka jangkos yang dihasilkan juga 1 ton. 

Bayangkan bila produksi CPO Indonesia dalam setahun saja mencapai 45 juta ton. Maka setiap tahun, jangkos yang dihasilkan juga 45 juta ton. Luuuar biasa banyaknya. 

Siti kemudian membawa sampel jangkos itu untuk diteliti. "Hhhhmmm...selulosanya lumayan. Ini bisa direkayasa menjadi penguat polimer. Kalau bisa menjadi penguat polimer, kebutuhan masif apa ya yang dibutuhkan oleh masyarakat," lagi-lagi dia membatin. 

Ahaaa...helm! Siti tahu, kalau sebenarnya helm-helm yang dijual di pasaran itu, pure polimer. Artinya, 100% polimer.  

 

Terus, helm standar motoGP itu kok bisa kuat begitu ya. Isinya apa ya? "Setelah saya pelajari, ternyata helm MotoGP itu sudah polimer plus fiber. Sudah komposit," katanya. 

Dari kajian literatur itu, Siti kemudian mencoba meneliti gimana kalau helm yang dipakai orang Indonesia jumlah polimer nya dikurangi dan kemudian ditambahkan fiber. Fiber itu bersumber dari jangkos sawit tadi. 

Sudahlah limbah sawit terserap, helm yang dipakai masyarakat Indonesia pun bisa lebih kuat secara mekanis, dan harganya terjangkau. 

Siti semakin serius melakukan penelitian. Terlebih setelah proposal penelitiannya disetujui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk dua tahun; 2015-2016.  

Singkat cerita, di 2015-2016 itu, Siti sudah membikin prototipe. Tinggal lagi gimana caranya agar prototipe itu bisa dikomersialkan. 

2017, ikutlah dia program Kemenristekdikti. Dia dibiayai hingga 2018. Outputnya; prototipe tadi bisa menjadi komersial.

O ya, pada prototipe tadi, Siti pakai material kelas terbaik tadi. Kalau waktu riset perbandingan fibernya 30%, saat akan komersialisasi, rupanya hanya bisa di bawah 20%. Begitu optimalnya. 

Soalnya kalau material fibernya terlalu banyak, nanti helm nya akan getas. Kalau sudah getas, akan mudah patah. 

"Saya mencari komposisi perbandingan yang tepat itu beberapa kali. Pada riset, saya mencoba dari 5% sampai 30%. Alhasil ketemulah perbandingan yang paling pas; di bawah 20%. Dengan perbandingan segitu, kenaikan sifat mekanisnya telah setara dengan helm komposit fiber glass," dia memastikan. 

Proses Pengolahan Jangkos

Jangkos di pabrik, you know lah, pks penuh dengan pengotor. Mulai dari warna hitam, berlemak dan lain-lain. Banyaklah pengotornya. 

Nah, jangkos yang penuh dengan pengotor ini, di-treatment untuk menghilangkan non selulosa setinggi mungkin. Sebanyak mungkin. 

 

"Artinya, sebelum dipakai sebagai fiber penguat polimer ada proses treatment sampai pada fase bahwa fiber ini siap digunakan sebagai penguat polimer," Siti menerangkan.

Setelah ditreatment kata Siti, dari satu ton jangkos penuh dengan kotoran tadi, yang tersisa menjadi fiber hanya 30-40%.

Komersialisasi pun dimulai pada 2019. Hanya saja, Siti baru bisa memproduksi pakai jasa malon. Artinya, Siti numpang memproduksi ke pabrik orang dengan membawa bahan baku sendiri. 

Kebanyakan produk helm masih bersifat custom alias pesanan. Pun begitu, Siti sudah bisa memproduksi antara 1000-2000 helm. bisa. 

"Kalau produk standar kita bermerk Green Composite (GC). Kita punya stok," terangnya. 

Seperti yang sudah dibilang di atas, Siti mengaku kalau komersialisasi telah menjadi masalah besar. Menembus pasar sangat sulit meski produknya sudah berstandar SNI. 

"Itulah makanya dari 2019, produksi kita masih di atas 10 ribu. Apakah kita sudah untung? Belum. Masih hanya untuk operasional kantor," katanya. 

Lantaran itu, Siti sangat berharap gandengan tangan dari berbagai pihak, termasuk kebijakan pemerintah. 

"Upaya sudah kita lakukan. Baik itu ke BUMN, swasta, khususnya perkebunan sawit, sudah. Tapi pada kenyataannya enggak bisa terserap juga. Kami enggak tahu persoalannya ada di mana. Kok enggak bisa mereka menyerap produk kami," keluhnya.
 
Dan sebetulnya, bukan cuma helm itu yang sudah diproduksi Siti, termasuk juga rompi anti peluru dan fasion berbahan jangkos. Ada baju, sepatu dan tas. Hhhmmm...


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS