https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

Besar, Potensi Peningkatan Produksi CPO di Aceh

Besar, Potensi Peningkatan Produksi CPO di Aceh

Ilustrasi perkebunan sawit di Aceh. Foto: gatra.com

"Dari sisi penguasaan lahan kita bangga, namun produktifitas lahan milik petani di masih rendah."

SEKRETARIS Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Aceh, Fadhli Ali, mengatakan meningkatnya hasil kebun kelapa sawit otomatis mendorong semakin besarnya produksi CPO di pabrik kelapa sawit (PKS) yang ada. 

"Potensi ini dinilai masih sangat besar di Provinsi Aceh," katanya. Ia merujuk 

data pemerintah yang menjabarkan bahwa 52% penguasaan lahan kelapa sawit di Aceh di lkuasai masyarakat. Sementara secara nasional 42 persen lahan kelapa sawit yang dikuasai petani. Seluas 50-an persen dikuasai perusahaan besar perkebunan dan 7,8 persen persen PTPN atau BUMN.

"Dari sisi penguasaan lahan kita bangga, namun sayangnya produktifitas lahan milik petani di Aceh masih cukup rendah. Sehingga hasil CPO juga tidak maksimal. Apalagi sampai saat ini CPO Aceh masih di ekspor dari pelabuhan belawan," tuturnya kepada elaeis.co, Rabu (26/6).

Lantaran rendahnya produksi kelapa sawit bahkan lebih rendah dari rata-rata produktifitas nasional yaitu 3,745 ton CPO/tahun, produktifitas sawit petani di Aceh hanya 2,838 ton CPO/tahun.

Sementara jika produksi CPO meningkat maka juga akan berpengaruh pada aktivitas jasa transportasi yang juga ikut terdongkrak. Ini juga akan mendorong  naiknga penerimaan negara dan daerah dari kelapa sawit. Terlebih jika ekspor yang hingga kini melalui Belawan-Sumut dapat dilakukan pada pelabuhan di Aceh.

Jalur ekspor yang melalui Belawan tersebut kata Fadhli juga menjadi salah satu faktor rendahnya penerimaan DBH Aceh. "Provinsi Aceh adalah provinsi nomor 8 dari 10 provinsi terluas kebun sawit di Indonesia. Namun demikian penerimaan DBH kelapa sawit Aceh tidak masuk dalam 10 provinsi penerima DBH terbesar di Indonesia," tuturnya.

Anehnya, kata Fadhli, DPR serta pemerintah Aceh belum memberikan perhatian serius terhadap potensi mendongkrak berbagai sumber penerimaan daerah dari perkelapasawitan di daerah tersebut.

"Poin yang ingin kita tegaskan dalam hal ini bahwa potensi pendapatan negara dan daerah dari perkelapasawitan di Aceh masih cukup besar. Saya baca dari dokumen peta jalan Kelapa Sawit Berkelanjutan (KSB) yang sudah disusun pemerintah Aceh dari PBB perusahaan HGU kelapa sawit dengan asumsi Rp 1 juta/ha pemerintah berpotensi bisa memperoleh penghasilan lebih dari Rp 300 Milyar dan kalau saya tidak salah 80% penerimaan negara dari PBB dikembali ke daerah," bebernya.

Penerimaan pajak sebesar itu dari perkelapasawitan lanjuta Fadhli tentu relatif besar dibanding sektor lain untuk pajak yang dipungut di Aceh, hampir setengah triliun atau Rp 482 milyar. Akan tetapi besaran atau nominal sebanyak itu adalah pajak-pajak yang bermacam ragam dari perkebunan sawit. Misalnya dari dipabrik PKS, di timbangan RAM, pajak gaji karyawan perusahaan sawit  atau kompenen pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan.

"Artinya nominal sebanyak itu merupakan penerimaan pemerintah (pusat) yang nanti akan dikembalikan ke Aceh sebagiannya sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Kita tidak menampik bahwa para petani sawit, petani, perusahaan perkebunan besar dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sebagai pelaku usah di bidang perkelapasawitan dan pemerintah daerah serta berbagai stakeholder kelapa sawit yang lain patut diapresiasi. Sebab usaha dan karya semuanya terbukti berguna, berkontribusi riel untuk kemajuan negeri," tutupnya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS