
Ilustrasi peremajaan sawit. Foto: sekadau.suarakalbar.co.id
"Diperlukan strategi dalam menghadapi tantangan dan hambatan yang ada.
PROGRAM peremajaan sawit rakyat (PSR) yang telah dilaksanakan sejak 2017 lalu tidak pernah bisa maksimal direalisasikan. Target 120.000 hektar kebun sawit rakyat yang harus diremajakan tidak pernah tuntas dilakukan.
Pihak Kementerian Pertanian (Kementan) pun melakukan penelitian selama 3 tahun di 12 provinsi sentra sawit guna mengetahui apa saja yang menghambat pelaksanaan program PSR.
"Saya dan tim telah melakukan kajian selama 3 tahun di 12 provinsi yang terdiri dari 7 provinsi dari Sumatera, 3 provinsi dari Kalimantan, dan 2 provinsi dari Sulawesi," kata Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementan, Adi Setiyanto,
Penelitian tersebut, seperti dikutip, Selasa (9/7), ia ungkapkan saat menjadi narasumber dalam webinar "EstCrops_Corner #5: Akselerasi Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR)" yang dilaksanakan belum lama ini.
Dari penelitian tersebut, menurut Adi Setiyanto, diketahui bahwa secara garis besar ada empat aspek kendala, hambatan, dan permasalahan dalam pelaksanaan program PSR.
"Yaitu aspek regulasi, legalitas lahan, aspek sosial ekonomi, dan aspek teknis. Sehingga diperlukan strategi dalam menghadapi tantangan dan hambatan tersebut," ujarnya.
"Di antaranya melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi (monev) dan layanan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS),” ungkap Adi Setiyanto.
Kemudian, sambung Adi, tahap perencanaan meliputi pendataan kebun sawit yang bukan kawasan hutan atau lindung gambut, tidak tumpang tindih hak guna usaha (HGU), dan peningkatan sosialisasi perubahan regulasi.
"Adapun tahap pelaksanaan yang perlu dilakukan antara lain perlu peningkatan koordinasi dan sinkronisasi semua instansi dan lembaga yang menangani program PSR," ujarnya.
Kemudian, kata dia, perlu dilakukan tahap monev yang perlu dilakukan adalah perlu memonitor pelaksanaan peremajaan sawit di tingkat rakyat.
"Baik mulai dari perencanaan, pengajuan proposal, penggunaan anggaran, proses penanaman, pemeliharaan, dan produksi kelapa sawit hasil peremajaan," ujar Adi.
Selanjutnya perlu dilakukan perluasan dan peningkatan intensitas sosialisasi agar pemahaman petani atau kelompok tani (poktan), koperasi, dan instansi terkait, termasuk aparat penegak hukum (APH) meningkat.
"Terakhir, yang dperlu dilakukan adalah tahap layanan BPDPKS yang meliputi peningkatan plafon anggaran PSR untuk setiap hektarnya dan maksimal 4 Ha," kata dia.
Pihaknya pun telah memikirkan untuk menambah pendanaan PSR melalui program tumpang sari yang dapat dilakukan.
Tetapi, ujarnya lagi, hal itu harus melihat keragaman kondisi agroekosistem dan sosial ekonomi petani sawit, karena hal tersebut menjadi penentu.
Belum lagi ide dukungan pembiayaan yang dapat dikembangkan untuk subsidi bunga pinjaman, atau memertimbangkan pendirian pusat layanan BPDPKS di daerah.
"Dengan demikian hal ini akan memudahkan seluruh proses pengajuan proposal hingga realisasi dan mengatasi kendala-kendala dan hambatan yang terjadi,” tegas Adi Setiyanto.
Sebelumnya Adi Setiyanto menjelaskan, rendahnya produktivitas sawit rakyat menjadi permasalahan serius untuk menjaga kelangsungan daya saing industri sawit nasional.
“Luas perkebunan sawit rakyat yang mencapai 6,94 juta ha dari 16,38 juta luas tutupan kelapa sawit nasional, sangat berpengaruh terhadap produktivitas nasional," kata dia.
"Di samping itu, rendahnya produktivitas kelapa sawit rakyat juga disebabkan karena tanaman sudah tua atau rusak, penggunaan benih tidak bermutu, dan pemeliharaan kebun yang kurang baik,” paparnya lagi
Adi menjelaskan bahwa walaupun sudah dilakukan perubahan - perubahan dalam kebijakan dan persyaratan, namun masih belum mampu mendorong percepatan realisasi PSR.
Situasi ini, kata dia, membuat pemerintah merasa perlu melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan percepatan realisasi tersebut.