
Sekjen DPP Apkasindo Perjuangan, A. Sulaiman H. Andi Loeloe. Foto: Dok. Elaeis
"Kecuali dana itu bersumber dari APBN atau pajak."
SEKRETARIS Jenderal (Sekjen) DPP Apkasindo Perjuangan, A. Sulaiman H. Andi Loeloe, menilai wacana dana perkebunan kelapa sawit untuk membiayai perkebunan kelapa dan kakao kurang tepat.
"Kecuali dana itu bersumber dari APBN atau pajak," katanya. Sebab dasar pungutan sawit jelas dana dari sawit untuk pengembangan sawit seperti peremajaan sawit rakyat (PSR), sarpras sawit, SDM pekebun sawit, riset dan promosi sawit, hilirisasi sawit, dan subsidi biodisel.
Sulaiman mengatakan itu saat diminta tanggapannya terkait rencana pemerintah yang akan menambah satu divisi di Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mengurusi komoditas kakao dan kelapa. Artinya tugas BPDPKS akan bertambah, tidak hanya fokus pada komoditi sawit, namun juga kakao dan kelapa.
Sulaiman mengatakan, sawit juga butuh pembiayaan untuk berbagai keperluan. Apalagi saat ini dihadang oleh UU Parlemen Uni Eropa atau Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang akan mulai diperlakukan 30 Desember 2024.
Tentunya, kata Sulaiman, perkebunan sawit di dalam negeri harus berbenah untuk menerapkan Indonesian Sustainabile Palm Oil (ISPO).
"Hal ini juga butuh anggaran dari yang cukup besar. Jadi bila dana sawit digunakan untuk kelapa dan kakao, ditakutkan akan berdampak pada capaian target PSR dan ISPO tahun 2025," katanya, Kamis (11/7).
"Kami sebetulnya sangat prihatin terhadap saudara-saudara kami di komoditas kakao dan kelapa, karena belum adanya badan pengelola dana sendiri. Untuk itu kami berharap agar pemerintah bisa membentuk BPDP khsusu komoditas itu, dan tidak bergantung pada dana sawit," imbuhnya.
Apalagi, dari kacamata Sulaiman, pendapatan petani kakao, kelapa dan kopi lebih tinggi dari petani sawit.
Misalnya, produksi TBS sawit petani rata-rata 20 ton/tahun/hektar. Kemudian harganya rata-rata Rp2.500/kg atau sama dengan Rp50 juta per tahun/ha. Sedangkan, kakao rata rata produksi 700 kg/hektar/tahun. Kemudian harga saat ini Rp80.000-100.00/kg. Artinya Rp56 juta-70 Juta/tahun.
Sebelumnya Sulaiman mengatakan penghimpunan dana memang ditujukan untuk mendorong pengembangan perkebunan yang berkelanjutan. Sementara penghimpunan dana itu dilakukan atas komoditas perkebunan strategis seperti Kelapa Sawit, Kelapa, Kakao, Karet, Kopi, Tebuh dan Tembakau.
Kemudian komoditas perkebunan strategis yang dipungut ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perkebunan.
Namun, lanjutnya, dana itu bersumber dari pelaku usaha perkebunan meliputi pungutan ekspor komoditas perkebunan serta Iuran dari pelaku usaha perkebunan. Kemudian juga dari turunannya, dan dari pelaku usaha industri berbahan baku hasil perkebunan.
Tujuan penghimpunan dana ini, kata Sulaiman, untuk kepentingan yang berkaitan dengan keberlanjutan perkebunan komoditi tersebut. Misalnya dari sisi pengembangan SDM perkebunan, penelitian, pengembangan perkebunan, promosi perkebunan, dan sarana, prasarana perkebunan. Kemudian juga untuk pengembangan perkebunan dan pemenuhan hasil perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati dan hilirisasi industri perkebunan.
"Jadi sebagai upaya untuk meningkatkan komoditas perkebunan perlu dibentuk seperti BPDPKS misalnya BPDP-Kakao, BPDP-Kelapa, BPDP-Kopi dan sebagainya. Tinggal peraturan Presiden tentang penghimpunan dana penggunaan dana perkebunan kakao, kelapa, kopi dan lain lainnya atau masing-masing komoditas. Kemudian peraturan menteri keuangan, tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar karena sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2015, yang mengatur tentang Badan Penghimpunan Dana Perkebunan" jelasnya.
Ihwal BPDPKS akan juga mengurus komoditas kakao dan kelapa disampaikan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) usai Rapat Terbatas (Ratas) mengenai komoditas cokelat dan kelapa bersama Presiden Jomowi di Istana Negara, Rabu (10/7).
Zulhas mengatakan, pihaknya telah mengusulkan pembentukan badan sendiri yang fokus mengurusi kakao dan kelapa. Namun usulan itu ditolak Presiden Jokowi dan digabungkan dengan BPDPKS.
"Diusulkan membuat badan. Tapi tadi diputuskan badannya digabung dengan BPDPKS. Digabung di situ ditambah satu divisi itu kakao dan kelapa, untuk subsidi silang, paling kurang untuk pengembangan bibitnya. Mungkin nanti ada risetnya, tapi itu digabungkan ke BPDPKS. Sawit, kakao, kelapa kan mirip-mirip," terangnya kepada awak media.