https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Petani

Semakin Bergairah, Generasi Kedua

Semakin Bergairah, Generasi Kedua

Tanaman sawit KUD Mukti Jaya saat masih berumur 28 bulan. foto: aziz

Hasil kebun mereka sudah ada yang mencapai 27 ton per hektar per tahun. Padahal tanaman paling tua masih umur 6 tahun. 

Kalau ditengok sepintas, orang akan menduga kalau hamparan kebun kelapa sawit seluas 3.226 hektar di kawasan Sungai Lilin Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel) itu milik perusahaan. 

Selain tanaman berjejer rapi di lengkapi dengan blok-blok, Tandan Buah Segar (TBS) nya pun besar-besar meski baru berumur antara 3-6 tahun. 

Padahal, sesungguhnya kebun yang terhampar di enam desa; Mulyo Rejo, Cinta Damai, Berlian Makmur, Bukit Jaya, Bumi Kencana dan Panca Tunggal adalah milik petani. 

Waktu tanaman generasi pertama, kebun warga eks transmigrasi umum ini memang binaan PT. Hindoli, perusahaan yang belakangan diakuisisi oleh Cargill. Namun masuk tanaman generasi kedua, mereka memilih mandiri. 

Bambang Giono (pakai kaca mata berjenggot) saat bersama tim nya di kebun kelapa sawit mereka. foto: dok. KUD Mukti Jaya

Walau sudah mandiri, tengoklah rata-rata produksi kebun berbibit varietas 540 dan Simalungun asal Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) itu. Dua tahun lalu sudah 22 ton per hektar per tahun. 

"Tahun lalu kebun kami yang ada di Desa Bumi Kencana telah menghasilkan 27 ton per hektar per tahun. Bisa jadi lebih dari 28 ton. Soalnya belum dihitung potongan wajib di Pabrik Kelapa Sawit (PKS)," kata Bambang Giono.   

Lelaki 49 tahun ini adalah Ketua KUD Mukti Jaya. Induk dari 8 koperasi sekunder yang ada di enam desa tadi. 

 

Ayah 8 anak ini merinci, tanaman yang ada di Desa Bumi Kencana tadi sekarang sudah berumur 6 tahun. Ada juga tanaman yang umurnya sama di desa lain tapi produksinya masih 18 ton per hektar per tahun. 

"Kalau tanaman yang paling muda, hasilnya baru 10 ton per hektar per tahun," terangnya. 

Bambang dan kawan-kawan memasang target, yang sudah menghasilkan 27 ton tadi, tahun ini musti bisa naik menjadi 30 ton. 

Lelaki asal Ngawi Jawa Timur ini yakin target itu akan kesampaian. Keyakinan itu nongol lantaran mereka sangat paham dengan pertumbuhan tanaman sawitnya itu. Lagi pula, perlakuan yang dibikin untuk sawit itu tak main-main.

"Memang, walau perlakuan sama, tapi hasil masing-masing hamparan akan berbeda. Lantaran itulah kami akan terus berinovasi," katanya. 

Penuh dengan inovasi, Bambang pun mengklaim kalau kebun mereka itu sudah seolah-olah laboratorium alam. Sebab sambil jalan, mereka membuat inovasi perlakuan. 

Tahun 1981-1982, Bambang dan kawan-kawan dikirim oleh pemerintah ke daerah itu, sebagai warga transmigrasi umum. Mereka kemudian bertanam palawija. 

Sekitar satu dekade kemudian, Hindoli membuka perkebunan kelapa sawit. Kebetulan tak jauh dari aral transmigrasi umum itu. Bambang dan kawan-kawan kemudian diajak untuk ikut bertanam sawit. Jadi binaan perusahaan. 

Hanya saja, sekitar 12 tahun sebelum tanaman masuk peremajaan, Bambang cs memutuskan berpisah dengan 'induk semang'nya. 

Bambang cs sakit hati lantaran saat mereka bertemu dengan pemilik perusahaan di Palembang ibukota Sumsel, muncul omongan begini; enggak ada kewajiban perusahaan me-replanting kebun petani. 
"Benar-benar sakit hati kami mendengar omongan itu," kenang Bambang.

Meski sudah sakit hati, sebenarnya Bambang cs masih membuka ruang untuk berunding dengan perusahaan. Bambang minta dibikinkan konsep kerjasama yang jelas. 

 

Hanya saja, sampai kebun mereka mau replanting, konsep kerjasama itu enggak nongol-nongol. "Tak mungkin perusahaan sebesar itu tak bisa bikin Rancangan Anggaran Biaya (RAB). Kami enggak mau kerja sama kalau enggak ada perjanjian yang jelas," benar-benar tegas Bambang waktu itu.  

Belakangan, perusahaan nongol menenteng hitungan biaya replanting yang nilainya di atas Rp55 juta per hektar. 

Biar Bambang cs yakin, perusahaan mengembel-embelinya kalau hitungan itu sudah standar Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun). 

Tapi bagi Bambang, justru harga segitu sangat mahal. Sebab menurut hitungan dia, biaya replanting dari P0 sampai P3 saja enggak sampai Rp55 juta. 

Malas berurusan dengan perusahaan, KUD memutuskan replanting mandiri saja. Anggota setuju. Mereka cuma berpesan bahwa berapa nanti duit yang habis, segitulah beban petani. 

Saat replanting sudah dekat, masalah baru muncul. Anggota kadung menarik sebahagian besar duit simpanan mereka untuk membeli lahan baru. 

Tujuan membeli lahan baru itu sebenarnya bagus. Untuk jaga-jaga selama kebun sawit belum menghasilkan. Mereka mau menanam palawija.

"Tapi ya itu tadi, gara-gara duit diambil, yang tersisa duit mereka untuk replanting itu paling hanya sekitar Rp10 juta-Rp15 juta. Enggak cukuplah," Bambang tertawa.
 
Sedang galau-galaunya, tahun 2015 KUD Mukti Jaya diundang Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sosialisasi di Sungai Lilin. Mereka disodori bantuan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) Rp25 juta per hektar. 

 

Awalnya petani tak percaya. "Enggak mungkinlah ada bantuan sebesar itu," mereka membatin. Setelah dicari tahu, ternyata bantuan itu benar adanya. 

Waktu itu, sempat juga  BPDPKS sangsi dengan keinginan replanting mandiri yang diajukan Bambang cs. BPDPKS meminta mereka bermitra saja dengan perusahaan. 

Bambang cs tak hilang akal. Mereka bolak-balik ke Jakarta meyakinkan BPDPKS. "Alhamdulillah akhirnya BPDPKS setuju," katanya. 

Urusan administrasi beres di tahun 2017, empat dari 8 koperasi memulai pekerjaan. Di kebun inilah kali pertama Presiden Jokowi melakukan tanam perdana program PSR. 

Uniknya, semua tenaga kerja adalah warga desa itu juga. Siapa saja boleh bekerja. Pemilik kaplingan diprioritaskan. 

KUD sendiri, dari dulu sudah punya manajemen sendiri, layaknya manajemen perusahaan. Ada Manager, Asisten Kepala (Askep), Asisten Kebun, Mandor dan Pengawas. Tiap desa dikepalai oleh Asisten Kebun. 

Masing-masing Asisten dibantu oleh dua orang; tenaga administrator dan mandor. Semua Asisten Kebun dikepalai seorang Askep. Sementara peran Pengawas diambil oleh masing-masing Kelompok Tani.

Semua pekerja dapat digaji, termasuk manager, askep, asisten, mandor dan pengawas. "Sumber gaji kami ya dari duit PSR yang Rp25 juta per hektar itulah. Uang itu cukup kok sampai pertengahan P3," katanya. 

Hitungan sederhananya kata Bambang begini; untuk P1, biaya perhektarnya, Rp5,3 juta per tahun. P2 naik 20 persen. "Alhamdulillah, biaya yang habis di bawah angka yang ada di RAB. Tapi hasil kerja, di atas target yang ada di RAB itu," Bambang bangga. 

Lantaran duit yang habis untuk proses replanting itu minim, nyaris semua koperasi tadi belum memakai duit yang sudah disiapkan oleh bank. 
Kebetulan sebelumnya, Mukti Jaya sudah teken kontrak pinjaman di Bank BNI Rp54 miliar. Tapi sampai peremajaan rampung, duit itu belum juga diambil. 

"Bolak balik bank bertanya kapan kami akan memakai duit itu. Gimana mau memakai, duit yang ada saja belum habis. Duit belum habis, kebun sudah menghasilkan. Kalau pun nanti kami butuh tambahan duit, paling pakai duit anggota. Kebetulan duit mereka ada sekitar Rp10 juta sampai Rp15 juta di rekening koperasi,” ujar Bambang. 

Kini, Bambang cs telah menikmati hasil tanaman generasi kedua itu. Hasilnya lebih menggairahkan ketimbang tanaman pertama. 

Dan saat ini, Bambang cs sudah pula akan menikmati Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sendiri. Ada investor yang mau membangun PKS untuk mereka. Kapasitasnya 45 ton per jam. Wow...


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS