Indonesia saat ini digugat oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia.
PARA praktisi industri sawit nasional dalam setahun terakhir disibukkan oleh wacana bagaimana menghadapi implementasi dari peraturan Regulasi Anti-deforestasi Uni Eropa atau sering dikenal dengan European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Berbagai dialog dan pertemuan sering digelar oleh banyak pihak di Indonesia, baik pemerintah, pengusaha, maupun petani sawit, untuk membahas secara mendalam tentang EUDR.
Pihak Indonesia dan Malaysia selaku dua produsen terbesar minyak sawit di dunia, bahkan sempat melakukan lawatan bersama ke Uni Eropa, tepatnya ke Brussell, Belgia, guna membahas hal tersebut
Tetapi, ternyata, selain EUDR, pemerintah juga harus menghadapi dua regulasi lain yang berpotensi menghadang produk komoditas nasional, termasuk di antaranya adalah minyak kelapa sawit.
Situasi itu, seperti dikutip dari laman Kementerian Perdagangan (Kemendag), Sabtu (31/8), diketahui jika merujuk dari paparan Bara Krishna Hasibuan di Jakarta belum lama ini.
Bara Hasibuan diketahui merupakan Staf Khusus Bidang Perdagangan Internasional dari Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas).
Bara mengungkapkan, selain EUDR, Indonesia juga dihadapkan dengan kebijakan lain dari Uni Eropa, yaitu European Green Deal (EGD), serta Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM).
Baik EUDR, EGD dan CBAM juga berpotensi merugikan karena mengatur ekspor komoditas utama Indonesia, termasuk dari subsektor perkebunan seperti kopi, coklat, kayu, karet, dan minyak sawit.
Perlu diketahui bahwa European Green Deal (EGD) atau Kesepakatan Hijau Eropa adalah sebuah kerangka kerja yang dibuat oleh Uni Eropa untuk mencapai emisi 0 persen pada tahun 2050.
EGD bertujuan untuk mengubah Uni Eropa menjadi perekonomian yang modern, hemat sumber daya, dan kompetitif.
Sementara itu Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM) adalah tarif karbon yang dikenakan pada produk - produk impor yang intensif karbon ke Uni Eropa (UE).
CBAM dibuat oleh pihak Uni Eropa dengan tujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi terhadap pemanasan global.
CBAM memiliki beberapa tujuan, yaitu mencegah kebocoran karbon, yaitu ketika perusahaan memindahkan produksi ke negara dengan regulasi iklim yang lebih lemah.
Lalu, mempercepat dekarbonisasi industri Eropa, menjaga daya saing produsen lokal, serta mendorong proses produksi yang lebih bersih di seluruh dunia.
CBAM mencakup impor barang-barang dari negara-negara non-UE, kecuali negara-negara yang berpartisipasi dalam ETS UE.
Negara-negara yang saat ini berpartisipasi dalam ETS UE adalah Islandia, Norwegia, Liechtenstein, Swiss, dan lima wilayah kecil lainnya.
CBAM akan mulai berlaku pada tahun 2026, dan pelaporannya dimulai pada tahun 2023
Bara Krishna Hasibuan menambahkan, sejak 1995 Indonesia terlibat dalam 79 kasus sengketa dagang di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).
Kata dia, sebanyak 33 kasus masih aktif, empat kasus sebagai tergugat, empat kasus sebagai penggugat, dan 26 kasus sebagai pihak ketiga.
“Indonesia saat ini digugat oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia. Indonesia juga sedang menggugat Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Uni Eropa menjadi negara terbanyak yang dihadapi Indonesia,” urai Bara.
Ia mengatakan, berbagai syarat perlu dipenuhi oleh pengekspor yang akan melakukan ekspor ke Uni Eropa.
Kebijakan tersebut, ucapnya, akan berlaku secara penuh pada akhir 2024 dan akan membebani eksportir Indonesia yang memiliki buyer di Uni Eropa.
"Dalam menghadapi sengketa dagang dengan negara mitra, Indonesia memaksimalkan kesempatan penyampaian argumen gugatan dan argumen pembelaan disertai bukti, serta berpartisipasi aktif pada persidangan," kata dia.
"Tujuannya agar argumen dan atau pembelaan Indonesia tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh hakim atau pihak panel di WTO,” pungkas Bara.