
Infografis by BRIN
Ada potensi negatif dalam penggunaan biomassa lignoselulosa.
BIOMASSA lignoselulosa, yang merupakan materi organik terbesar di bumi, menyimpan potensi signifikan untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Sekitar 50 persen dari biomassa ini berasal dari tanaman dengan produksi global mencapai 50 miliar ton per tahun, dan 123 juta ton diantaranya dari sektor pertanian. Di Indonesia, produksi biomassa lignoselulosa juga cukup besar, terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa.
Menurut Peneliti Pusat Riset Peternakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Simon P Ginting, Pulau Sumatera mencatat produksi biomassa terbesar secara kuantitatif, mencapai 274,6 juta ton per tahun. Tanaman utama di wilayah ini meliputi kelapa sawit, kakao, dan tebu. Tanaman padi, khususnya jerami, juga memiliki potensi tertinggi sebagai sumber pakan dari sektor tanaman pangan. Namun, tantangan muncul dalam pemanfaatan biomassa ini sebagai pakan, khususnya untuk ruminansia.
Simon mengungkapkan bahwa biomassa lignoselulosa di Indonesia memiliki potensi besar, tetapi juga menghadapi berbagai tantangan. Teknologi saat ini sedang dikembangkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan biomassa ini, baik sebagai bahan bakar maupun pakan. Simon mencatat bahwa meski biomassa perkebunan seperti kelapa sawit memiliki potensi, kontribusinya terhadap kebutuhan energi kambing fase tumbuh masih tergolong rendah tanpa teknologi pemrosesan yang tepat.
Komponen utama dalam serat pakan – lignin, selulosa, dan hemiselulosa – masing-masing memiliki dampak yang berbeda terhadap pencernaan ternak. Selulosa dan hemiselulosa mempengaruhi konsumsi pakan, sedangkan lignin berdampak pada kecernaan. “Oleh karena itu, proses teknologi yang dapat memodifikasi unsur-unsur ini, baik dengan mendegradasi atau mengekstraknya, diperlukan untuk meningkatkan performa pakan," jelasnya dalam keterangan resmi Humas BRIN dikutip Sabtu (21/9).
Serat pakan berfungsi tidak hanya sebagai sumber energi tetapi juga penting untuk fisiologi rumen, termasuk mengatur pH dan mendukung aktivitas ruminasi. Simon menjelaskan bahwa serat efektif tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah dan konsentrasi tetapi juga ukuran partikel serat. “Kombinasi yang optimal antara ukuran partikel dan konsentrasi serat dapat meningkatkan energi dan mendukung fungsi rumen," sebutnya.
Namun, ada potensi negatif dalam penggunaan biomassa lignoselulosa, termasuk degradasi lambat di rumen dan rendahnya energi metabolik. Untuk mengatasi ini, teknologi pemrosesan seperti penggilingan, pemanasan, dan penggunaan bahan kimia organik sedang dikembangkan. Teknologi ini bertujuan untuk mendegradasi lignin secara efektif sambil mempertahankan selulosa dan hemiselulosa.
Menurut Simon, berbagai metode teknologi sedang dikembangkan, termasuk proses mekanis, fisik, kimiawi, dan biologi, serta kombinasi metode-metode tersebut. “Teknologi seperti ekstrusi, proses alkalis, dan biodegradasi menggunakan fungi berpotensi meningkatkan efektivitas pakan. Namun, beberapa metode masih memerlukan energi tinggi dan biaya yang signifikan," ungkapnya.
Dia menekankan pentingnya penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan lignin sebagai pakan aditif dan perlunya teknologi alat yang efisien untuk skala produksi yang berbeda. Penelitian tentang teknik molekuler untuk degradasi lignin dan pengembangan strain mikroorganisme yang efektif juga dianggap penting untuk meningkatkan potensi biomassa lignoselulosa sebagai pakan ternak.
“Dengan penelitian dan teknologi yang terus berkembang, diharapkan potensi positif biomassa lignoselulosa dapat dimaksimalkan, sementara tantangan-tantangan yang ada dapat diatasi," tutupnya.