“Kita bisa tunjukan dari mana asal-usul biodiesel kita."
WAKIL Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Jummy Bismar Sinaga mengatakan di masa depan Indonesia bakal memunculkan Indonesia Bioenergy Sustainability Indicator (IBSI) untuk kepentingan kualitas produksi bioenergi, termasuk biodiesel yang berbasis kelapa sawit.
"IBSI digunakan untuk memastikan biodiesel yang kita produksi memiliki tracebility atau ketelusuran, baik dari hulu maupun sampai hilir atau hingga akhirnya menjadi biodiesel," kata Jummy kepada para pelaku usaha sawit dalam acara Pekan Riset Sawit (PERISAI) 2024 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Denpasar, Provinsi Bali, Kamis (3/10/2024) sore.
Sekadar mengingatkan, PERISAI adalah sebuah acara yang diselenggatakan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebagai bagian intuk menibgkatkan kualitas teknologi, riset, dan sumber daya manusia (SDM) perkebunan sawit.
Jummy mengatakan bahwa langkah itu diambil untuk membuktikan kalau Indonesia serius menunjukkan kepada dunia kalau biodiesel sesuao dengan persyaratan yang ada di dalam European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR).
“Kita bisa tunjukan dari mana asal-usul biodiesel kita, bahan baku CPO-nya dari mana, kebun sawitnya di mana," ujar Jummy.
"Nah, semua itu sudah disusun sebagai bagian dalam IBSI oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerkan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)," tuturnya lebih lanjut.
Karena itu Jummy merasa tidak heran kalau pada akhirnya produksi biodiesel Indonesia menjadi jauh lebih baik ketimbang yang diproduksi kalangan industri di Eropa.
Dirinya menjelaskan kalau pada awalnya biodiesel yang diproduksi Indonesia hanya memiliki 7 parameter kualitas, tetapi saat ini sudah memiliki 23 parameter.
“Dulu warna itu enggak jadi parameter. Tetapi untuk keberterimaan di tingkat konsumen, maka warna biodiesel sudah diatur dari 7 parameter sekarang ada 23 parameter," ungkap Jummy.
"Terkhusus untuk kadar air di biodiesel, yang saya soroti, Eropa masih menggunakan 500 PPM kandungan air, Indonesia sudah 320 PPM saja. Ini akan membuat B40 Indonesia akan lebih baik lagi ke depannya,” ujar Jummy.
Namun demikian, ia mengakui produksi biodiesel Indonesia memiliki sejumlah tantangan, khususnya dari soal teknologi yang harus terus di-update secara spesifik seiring meningkatnya persentase campuran biodiesel dalam minyak solar.
Peningkatan persentase itu, kata dia, mau enggak mau membuat setiap pabrik biodiesel perlu mengadopsi teknologi terbaru atau melakukan rekayasa enjinering di pabrik biodiesel yang telah ada.
Adopsi dan adaptasi teknologi terbaru itu, kata dia, bakal membuat konsumen memiliki tingkat keberterimaan yang tinggi atas produksi biodiesel meski campurannya terus meningkat.
“Maka, akan ada adopsi teknologi, melalui instalasi-instalasi mesin yang terbaru untuk mendapatkan kualitas terbaik," ucap Jummy Sinaga menambahkan.
"Contohnya adalah Monogleserida yang kandungannya dulu sebesar 0,8, berubah menjadi 0,5, bahkan akan menjadi 0,47 untuk B50 yang bakal direncanakan untuk tahun 2025. Ini menjadi tantangan kami soal industri biodiesel,” ujarnya.
Kemudian, lanjut Jummy, problem yang bakal dihadapi kalangan industri biodiesel di dalam negeri adalah seperti handling dan transportasi.
Tantangan industri biodiesel tebesar kedua di Indonesia, ujarnya, adalah proses produksi biodiesel di level pabrik yang diproduksi sesuai dengan kriteria yang dibuat oleh APROBI.
"Tetapi ketika itu berjalan, kebayang gak jauhnya proses distribusi dan transportasi dari Dumai di Provinsi Riau ke Balikpapan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim)?" ucapnya dengan nada tanya.
"Seluruh biodiesel yang didistribusikan itu baru bisa nyampe seminggu dan baru bisa dibongkar 3 hari kemudian. Gimana gak down grade kualitasnya. Ini menjadi tantangan kami juga,” tegas Jummy Bismar Sinaga, Wakil Ketua APROBI.