Mereka yang bertahan di masa sulit, akhirnya menikmati hasil kelapa sawit.
Sari Galuh. Tak ada yang menyangka kalau desa yang dulunya hanya perkampungan transmigrasi bernama Majapahit itu, bakal semaju sekarang.
Bahkan bila dibandingkan dengan desa-desa seangkatannya yang sama-sama bekas binaan PTPN V Sei Galuh --- kini berubah nama menjadi Regional 3 PTPN IV Sei Galuh --- seperti Desa Sei Putih, Tambusai, Indrapura, Pajajaran, Indragiri, Dilimakmur, Singosari, Pagaruyung dan Sriwijaya, Sari Galuh menjadi desa paling maju.
Sampai tahun lalu saja desa yang berada 30 kilometer arah Barat Kota Pekanbaru ini, sudah ada 12 sekolahan di desa seluas 1.683 hektar ini. Mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat, bertebaran di sana.
Fasilitas perbankan juga sudah ada di antara deretan rumah toko yang berjejer di sepanjang jalan poros --- jalan yang menghubungkan Petapahan - Pekanbaru.
Mulusnya aspal jalan poros maupun jalan-jalan di setiap jalur perumahan, membuat desa yang awalnya hanya berpenduduk 620 kepala keluarga ini semakin kinclong.
“Sekarang desa ini sudah sangat ramai, penduduknya sudah hampir 4000 jiwa,” cerita Irja Idrus, Ketua Koperasi Unit Desa Mandiri Mojopahit Jaya, saat berbincang dengan Elaeis Media Group (EMG) di kantornya di kawasan jalan Angrek 3, dua hari lalu.
KUD Mandiri Mojopahit Jaya inilah yang mengelola 1.240 hektar kebun kelapa sawit yang dulu diberikan pemerintah kepada 620 kepala keluarga peserta transmigrasi yang ada di desa ini. Pada 1988 silam, mereka tidak saja didatangkan dari Lampung dan Pulau Jawa, tapi ada juga yang transmigran lokal.
Sebelum berangkat, mereka dibekali pelatihan-pelatihan terkait pertanian. Lalu mereka bakal dapat apa di tempat tujuan juga diberi tahu. Rumah, pekarangan yang luas dan lahan usaha seluas 2 hektar dengan komoditi sawit, membuat hasrat mereka menggebu meski mereka sama sekali belum mengerti sawit itu apa.
“Saya sendiri berasal dari Lampung. Kami diberangkatkan naik bus menuju Pekanbaru. Waktu itu perjalanan cukup lama, sekitar hari baru tiba di Pekanbaru. Kami masih menginap satu malam dulu di Wisma Transito milik Departemen Transmigrasi yang ada di Pekanbaru, sebelum kemudian diberangkatkan lagi ke Sei Galuh,” kenang Irja.
Di sinilah kemudian warga diundi untuk mendapatkan rumah di atas lahan seluas 5000 meter persegi. Rumah papan berukuran 6x6 meter yang juga dibikin oleh pemerintah. “Saya kebagian di jalur 3 nomor 87. Sekarang bernama jalan Angrek 3,” terang lelaki 64 tahun ini.
Waktu itu kata ayah tiga anak ini, wilayah perumahan mereka belum diberi nama. Masih hanya disebut Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) II Sungai Galuh saja. “Biar ada nama, kami kemudian dikumpulkan oleh pimpinan kebun Sei Galuh untuk sama-sama memberi nama kampung kami yang baru ini. Tapi yang ngumpul malah bingung mau ngasi nama apa,” kenang kakek 4 cucu ini tertawa.
Menengok warga bingung, pimpinan kebun Sei Galuh bernama Puspito itu pun menyodorkan solusi. “Biar enggak bingung, gimana kalau kita ambil saja nama-nama kerajaan. Nanti kalau kampung ini sudah menjadi desa defenitif, dirubah lagi,” kata Puspito.
Semua yang hadir setuju dan disepakatilah kemudian nama pemukiman itu; Majapahit. “Setelah pembentukan desa defenitif, barulah berubah menjadi Sari Galuh. Lantaran kami berada di wilayah Galuh, biarlah kami sari (inti) nya. Itulah yang menjadi cikal bakal nama itu,” panjang lebar lelaki jebolan sekolah dasar ini bercerita.
Selengkapnya baca di Elaeis Magazine edisi September 2024