https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Petani

Sepenggal Cerita Revolusi Sawit Rakyat 

Sepenggal Cerita Revolusi Sawit Rakyat 

Hamparan kebun kelapa sawit di kawasan Rantau Pulung, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto: aziz

Pada tahun 1980, luas kebun sawit rakyat masih hanya 6 ribu hektar. Empat puluh tahun kemudian membengkak menjadi 6,8 juta hektar. Bisa jadi kelak kebun sawit rakyat lebih luas ketimbang sawit swasta. 

Dimana-mana sekarang ini, orang-orang sudah terus-terusan ngomongin sawit. Tak hanya di alam nyata, di sosial media malah bejibun. Mau ngomongin yang bagus atau jelek, semua berseliweran di sana. 

Wajar sih terjadi seperti itu. Sebab dari 38 provinsi yang saat ini ada di Nusantara, 30 provinsi adalah penghasil sawit.

Lalu dari 514 kabupaten kota yang ada, hampir separuh atau persis 240 kabupaten kota di antaranya adalah penghasil sawit.  

Lantas seperti apa sih perkembangan pertumbuhan kelapa sawit di Indonesia hingga kemudian viral kayak sekarang? 

Adalah Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness  Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung yang kemudian bercerita kalau pada tahun 1980, luas kebun kelapa sawit di Indonesia masih di angka 300an ribu hektar.  

Tapi pada tahun 2016, luasan itu membengkak menjadi 11 juta hektar. Empat tahun kemudian meningkat lagi menjadi 16,38 juta hektar. 

Ini berarti, selama 40 tahun telah terjadi penambahan luas kebun kelapa sawit seluas 16,08 juta hektar, atau 402.000 hektar per tahun.  

Tapi kalau disimak lagi perkembangan itu, rentang 2016-2020 menjadi pertumbuhan kebun kelapa sawit terbesar. Mencapai 1,3 juta hektar per tahun. Soalnya itu tadi, dalam tempo 4 tahun bertambah 5,38 juta hektar.  

 

Belum ada sih penjelasan apakah hitungannya benar demikian, atau malah justru penghitungan luasan dari awal, telah bermasalah. 

"Pada tahun 1980 itu, produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia masih di angka 700 ribu ton, tapi pada 2016 sudah mencapai 31,7 juta ton," doktor ilmu ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini merinci. 

Yang kemudian membikin menarik, rakyat menjadi pemilik 42% dari luasan itu. Padahal awalnya, hanya berada di angka 2%. 

Maka sadar atau tidak kata lelaki 56 tahun ini, di rentang ini telah terjadi revolusi sawit rakyat. Sebab di tahun 1980, hanya korporasi yang baru mencicipi industri kelapa sawit. 

Yang kemudian membikin unik, pesatnya perkembangan luas kebun rakyat itu bukan oleh fasilitas subsidi atau kredit dari pemerintah. Tapi murni biaya dari kocek sendiri atau kredit komersial bank.    

Melonjaknya luasan dan produksi sawit Indonesia tadi, sangat berdampak kepada Malaysia. Negeri jiran ini sempat 70 tahun menjadi rajak minyak sawit dunia. Tapi sekarang telah melorot menjadi runner-up

Pada tahun 2017, Indonesia telah muncul sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia; mencapai 58%. Sementara Malaysia hanya 29%.

Pertumbuhan kelapa sawit Indonesia ini juga berdampak kepada dominasi minyak kedelai (soybean oil) yang sebelumnya hampir 100% melorot menjadi sekitar 63%. Penurunan dominasi ini telah terjadi sejak tahun 2004.
   
Tahun 2017 itu kata Tungkot, pangsa minyak sawit telah berada di angka 42% dan minyak kedelai turun menjadi 32%. 

Oleh angka-angka ini, Indonesia tidak lagi hanya berhasil menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia, "Tapi telah menjadi produsen terbesar pada pasar 4 minyak nabati utama dunia --- Sawit, Soybean, Rapeseed dan Sunflower," Tungkot mengurai.
   
Alkisah Proyek NES

Kalau saja proyek Nucleus Estate and Small Holders (NES) yang dibiayai oleh bank dunia itu enggak dimulai pada 1978, bisa jadi rakyat tidak akan pernah tergiur berkebun kelapa sawit. 

 

Soalnya waktu itu, kebun kelapa sawit masih hanya menjadi keseharian perusahaan plat merah maupun swasta. 

Waktu itu kata Tungkot, NES telah menyebar ke sejumlah provinsi. Kalau dirunut, adalah NES I hingga VII. Katakanlah di Besitang Aceh, Sumbar, Riau; NES ADB Sei Buatan, Sei Garo dan Sei galuh, Bengkulu, Banten, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Timur (Kaltim), Sulawesi dan Papua. 

Bisa jadi lantaran tersebar itulah rakyat mulai tertarik menengok sawit dan proyek NES ini berhasil pula. 

Lantaran keberhasilan inilah kemudian, pemerintah melanjutkannya dengan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) khusus dan PIR lokal yang dibayai dari duit APBN.

Lagi-lagi PIR khusus dan lokal ini ternyata kinclong juga. Alhasil, pemerintah membikin lagi program baru; PIR Transmigrasi. Untuk program ini, swasta didapuk sebagai inti dan petani trans menjadi plasma. 

Tahun 1996, PIR lokal naik kelas menjadi PIR Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). PIR KKPA ini dibiayai pakai subsidi kredit untuk 74 Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada di sekitar kebun kelapa sawit perusahaan swasta maupun negara yang sudah ada.   

"PIR trans itu dilakukan di 11 provinsi, mencapai 50 unit PIR trans. Dari program ini, hadir lah sekitar 398.644 hektar kebun kelapa sawit baru. Sekitar 70% nya adalah inti --- milik perusahaan yang menjadi bapak angkat petani PIR," terang Tungkot.   

Dampak keberhasilan semua program inilah kemudian masyarakat yang ada di sekitar proyek dan orang-orang yang tergiur dengan sawit, mulai ikut merambah sektor ini. 

Alhasil, kebun sawit rakyat yang tahun 1980 hanya sekitar 6000 hektar, 2 tahun kemudian berkembang menjadi 1,2 juta hektar, 2016 menjadi 4,7 juta hektar dan di 2020 6,8 juta hektar. "Bisa jadi kelak luasan ini melampaui luas kebun sawit swasta," Tungkot memperkirakan. 



 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS