“Dalam hutan ada sagu sebagai sumber makanan utama kami."
MARGA Amotey dari Suku Mandobo di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan, menggelar rapat adat sebagai respon atas rencana pemerintah mengizinkan perusahaan sawit beroperasi di wilayah adat mereka.
Keputusan dari rapat yang digelar di Kampung Patriot, Distrik Arimop yakni, Marga Amotey menolak kehadiran perusahaan sawit Papua Berkat Pangan (PSPBP) di tanah ulayat leluhur mereka.
Berdasarkan data yang didapat oleh masyarakat adat dan disampaikan di rapat itu, konsesi yang diizinkan pemerintah kepada perusahaan itu seluas 34.092,18 hektare yang tersebar di Distrik Mandobo, Distrik Jair, dan Distrik Arimop.
Ketua Marga Amotey, Aloiysius Amotey mengungkapkan, pihaknya telah bersepakat menolak kehadiran perusahaan tersebut di seluruh wilayah adat marga Amotey. Menurutnya, marga Amotey di Kampung Patriot secara turun-temurun menjadikan hak ulayat mereka yang di dalamnya ada hutan alam sebagai sumber kehidupan utama dan juga sebagai aset marga.
“Dalam hutan ada sagu sebagai sumber makanan utama kami. Selain itu juga ada hewan yang kami buru, ada juga kayu dan tumbuh-tumbuhan lainnya yang menjadi sumber penghidupan dan kehidupan marga Amotey secara turun-temurun,” ungkapnya dalam siaran pers dikutip Selasa (5/11).
Seorang aktivis lingkungan yang juga anak asli dari Kampung Patriot, Maria G Amotey mengatakan bahwa sebagai aktivis dan juga sebagai masyarakat adat, dirinya dengan tegas menolak kehadiran perusahaan itu beroperasi di wilayah tanah adat marga Amotey. Karena akan menyebabkan deforestasi yang berakibat pada punahnya flora dan fauna endemik, pemanasan global, perubahan iklim dan terganggunya siklus air.
“Dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit dan juga rencana pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), akan sangat berpengaruh terhadap keseimbangan lingkungan dan merusak ekologi,” sebutnya.
Sementara itu Aktivis Lingkungan dan Kemanusian dari LBH Papua Pos Merauke, Philipus K Chambu, berpendapat bahwa pemerintah wajib mengedepankan Prinsip Free and Prior Informed Consent (FPIC), di mana masyarakat diberikan kehendak bebas dan tanpa intervensi dan paksaan apapun dari pihak manapun dalam pengambilan keputusan apakah masyarakat adat menerima atau menolak perusahaan atau investasi yang akan masuk di wilayah adat mereka.
Philip kemudian menegaskan bahwa hak-hak masyarakat adat secara tegas telah diatur pada pasal 18B ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia junto Pasal 43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua junto Pasal 22 PERDASUS Kabupaten Boven Digoel Nomor 2 Tahun 2023.
“Jika marga Amotey menyatakan sikap terhadap perusahaan itu, maka wajib bagi pemerintah untuk menghormati keputusan marga Amotey tersebut,” pungkasnya.