Saking menghargai komitmen yang telah dibangun, para petani sawit ini ogah berpaling meski digoda oleh harga tinggi.
Walau baru berumur 15 tahun, Kelompok Tani Jaya Mandiri yang berada di Dusun Bangun Sari, Desa Gunung Sari, Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) ini, boleh dibilang sudah berhasil membikin anggotanya sama seperti namanya; Jaya dan Mandiri.
Tengok sajalah, 116 kepala keluarga anggota Kelompok Tani ini, semuanya punya minimal 4-5 hektar kebun kelapa sawit. Malah ada juga yang memiliki hingga 40-50 hektar.
Lalu, sudah hampir semua pula anggota Kelompok Tani ini punya mobil, pendidikan anak-anak mereka tuntas hingga di bangku kuliah. Ada yang jadi dokter dan bahkan tentara.
Belakangan, ada pula sejumlah anggota kelompok yang menambah luasan kebun sawitnya, kalau ditotal, mencapai 20 hektar. Lahan itu, ada yang bukaan baru, ada pula yang didapat dari hasil take over.
Adalah Wayan Agus, yang sejak awal berdirinya kelompok tani itu sampai sekarang, tetap menjadi satu-satunya sosok yang dipercaya oleh semua anggota untuk memimpin kelompok.
Ayah dua anak ini sebetulnya masih tergolong muda, baru berumur 39 tahun. Walau namanya Wayan, dia bukan lagi kelahiran Bali, tapi sudah anak jati Dusun Bagun Sari.
Kakeknya, I Ketut Moyo, yang asal Desa Baturiti, Dusun Banga, Kecamatan Baturiti, Tabanan, Bali itu, tiba di kawasan Pasangkayu pada tahun 1978 silam.
I Ketut bersama warga lainnya, dikirim oleh pemerintah menjadi peserta transmigrasi. Lelaki itu memboyong istri beserta lima orang anak-anaknya. Bapaknya Wayan sendiri anak nomor dua. Namanya I Made Rembin.
Sewaktu kakek Wayan tiba di kawasan tempat tinggal mereka sekarang, areal itu masih dikelilingi hutan belantara. Belum ada perusahaan sawit, apalagi pepohonan kelapa sawit.
Adapun sumber kehidupan warga transmograsi waktu itu hanya dari jatah hidup (jadup) yang dikasi pemerintah, plus bertanam palawija. Belakangan baru lanjut bertanam coklat.
Lulus dari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Bali pada tahun 2008, --- kini kampus itu berubah nama menjadi Universitas Hindu Negeri --- Wayan kembali ke kampung halamannya; Gunung Sari.
Dalam sebuah obrolan di keluarga, ayahnya mengatakan kalau kebun coklat yang seluas hampir lima hektar di dua hamparan itu, diganti dengan tanaman sawit saja. Tiga hektar untuk orang tuanya, sisanya untuk Wayan.
"Sebenarnya, warga desa mulai bertanam sawit sudah sejak tahun 2004 silam. Waktu itu perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Pasangkayu, anak perusahaan Astra Agro Lestari yang menawarkan," cerita Magister Ilmu Agama dan Budaya jebolan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) ini, saat berbincang dengan Elaeis Media Group di kebun sawit miliknya, di kawasan jalan lintas Dusun Bangun Sari, Senin pekan lalu.
Selengkapnya baca di Elaeis Magazine Edisi 05 Vol. IV Tahun 2024