Berita > Persona
Tengku Maja Cinta Sawit karena Tanaman Ini Telah Mengangkat Derajat Perekonomian Keluarganya

Tengku Muhammad Abdul Maja Pandika. Foto: Dok. Pribadi
SEMUANYA masih terbayang dengan jelas, yaitu rangkaian hidup susah, yang mesti dilakoni oleh Tengku Muhammad Abdul Maja Pandika ketika masih kecil di daerah asalnya, Kelurahan Pelalawan, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Dilahirkan pada tahun 2004 di tengah keluarga dengan Ayah yang kala itu hanya kerja serabutan untuk menghidupi keluarganya, Maja --panggilan akrabnya-- melalui apa yang disebut dengan "penderitaan ganda."
Secara materi, kenang Maja, ia bersama kedua orangtua dan saudara-saudaranya melakoni hidup serba kekurangan karena penghasilan dari kerja serabutan yang ditekuni sang Ayah hampir tidak pernah menjanjikan sesuatu yang berlebih.
"Kadang Ayah kerja kayu balak, kadang membuat pompong," kenang Maja, mengilas-balik sejarah saat ia masih kecil sampai duduk di bangku SMP itu.
Saking susahnya kondisi kala itu, sambung Maja, ia terpaksa sering ikut orangtua berpindah dari suatu tempat ke tempat lain karena Ayahnya belum mampu membangunkan rumah yang layak untuk keluarganya.
Menurut Maja, mereka juga pernah tinggal di kebun, saat-saat awal orangtuanya mulai merintis membangun kebun sawit secara mandiri dengan kondisi fisik bangunan yang ditempati apa adanya saja.
"Ayah memutuskan kami boyongan ke kebun untuk mencari tempat hidup yang lebih baik, sekaligus mulai merintis membangun kebun secara perlahan," ulasnya lagi.
Punya sepeda motor? "Wah, barang itu terlalu mewah bagi keluarga kami kala itu," ungkapnya. "Boro-boro punya motor, bisa saja orangtua mencukupi kebutuhan hidup kami kala itu, sudah bersyukur sekali rasanya."
Penderitaan terberat, menurut Maja, adalah deraan psikis karena terlahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang serba kekurangan. "Kami hampir tidak mendapat penerimaan yang layak bersebab keterbatasan yang menyungkup kami," katanya.
Termasuk dalam pergaulan sesama besar, baik di lingkungan tempat tinggal maupun di sekolah; Maja merasakan betul betapa ia sering tersisih antara lain karena ia tidak mampu mengikuti gaya hidup kawan-kawan seangkatannya.
Keadaan berubah drastis manakala Maja tengah menjalani tahun-tahun awal duduk di bangku SMP di tanah kelahirannya. Yaitu, saat di mana perkebunan kelapa sawit yang dibangun orangtuanya mulai mendatangkan hasil.
"Seperti malam berubah menjadi siang," katanya memberi ilustrasi. Keluarga Maja yang sebelumnya serba kekurangan berubah --secara perlahan tapi pasti-- menjadi keluarga yang berkecukupan secara materi.
"Alhamdulillah, karena sawit, orangtua kami mampu memberikan semua yang dibutuhkan, termasuk pendidikan yang layak bagi kami, anak-anaknya," beber Maja.
Tentu saja setelah menyediakan aneka kebutuhan lainnya, baik primer maupun sekunder, seperti rumah tinggal yang layak, pakaian dan sejumlah kendaraan bermotor.
Sesuatu yang jelas tidak didapatkan dengan mudah. Dikisahkan Maja, orangtuanya membangun kebun sawit itu di tengah modal dan keterampilan teknis yang sangat terbatas. "Modal terbesar mereka hanya kemauan yang kuat untuk mengubah nasib," ujarnya.
Membangun kebun sawit di daerah asalnya, menurut Maja, juga punya tantangan tersendiri. Karena sebagian lahan di sana merupakan hutan gambut, kasus kebakaran lahan sawit sangat gampang untuk terjadi.
"Mungkin karena sudah capek menderita dengan bekerja di sektor lain, orangtua mengerahkan segenap kemampuannya agar tanaman sawit yang mereka kelola bisa mendatangkan hasil yang diharapkan," ulas Maja.
"Pada gilirannya, kami sekeluarga menikmati juga buah perjuangan dan kerja keras orangtua untuk mengubah nasib," beber Maja.
Cinta Sawit
Karena tanaman kelapa sawit telah memberikan sesuatu yang sangat berarti bagi dirinya, orangtua dan saudara-saudaranya; Maja mengaku kecintaannya terhadap tanaman itu mulai tumbuh.
"Kelapa sawit telah menjadi penyelamat hidup kami sekeluarga," kata hati kecil Maja, suatu ketika, dulu. "Tidak ada salahnya pula menjadikan tanaman ini sebagai gantungan masa depan," tekadnya.
Kalau kemudian Maja memilih bersekolah di SMKN Pertanian Terpadu Riau di Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, merupakan tindak lanjut dari ketertarikannya terhadap sawit, karena sekolah tersebut memberi peluang yang besar untuk itu.
Selain kemauan sendiri, menurut Maja, dorongan untuk mendalami sawit juga datang dari kedua orangtuanya. "Kakek juga berharap seperti itu," ujarnya. Kakek Maja merupakan mantan kepala dinas di lingkup Pemkab Pelalawan.
Karena sudah memiliki bekal soal perkelapasawitan yang lebih dari cukup, ketika pada 2022 lalu Maja mengikuti tes masuk program beasiswa sawit yang didanai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), ia tidak terlalu kesulitan untuk menjalaninya. Maja pun dinyatakan lulus.
Oleh pelaksana program, Maja ditempatkan berkuliah di Institut Pertanian Stiper (Instiper) di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Jurusan Agroteknologi untuk program S1. Saat ini ia sudah duduk di semester VI, hendak ke semester VII.
Telah menjalani perkuliahan selama enam semester di Instiper, Maja mengaku ilmu, pengetahuan dan wawasannya soal perkelapasawitan semakin terbuka lebar. "Ternyata ilmu sawit cukup dalam, tak dangkal seperti yang saya kira selama ini," ujarnya.
Menurut Maja, dari bangku kuliah ia tahu bagaimana cara membuat tanaman sawit bisa tumbuh dengan baik. "Banyak faktor yang harus diperhatikan," ujarnya. "Tidak asal tanam, lalu dibiarkan tumbuh begitu saja."
Faktor-faktor dimaksud, menurut Maja, antara lain mencakup kajian unsur hara dan kelembaban tanah, iklim, suhu, sistem tata kelola air, dan lainnya. "Antara satu faktor dengan faktor lainnya terkadang saling terkait," ujarnya.
Lebih dari itu, sambung Maja, persoalan sawit ternyata tidak sebatas dari sisi budidayanya saja. "Spektrumnya luas sekali," kata Maja, sambil menyebut contoh urusan rantai pasok, tata niaga, dan lainnya.
Termasuk urusan tata niaga, Maja menunjuk contoh kegiatan kampanye hitam (black canpaign) yang dilakukan sementara pihak terhadap sawit. Sawit, antara lain, dituding sebagai biang kerusakan lingkungan hidup dan deforestasi.
Apa iya? "Itu kan lebih karena dominannya peran sawit sebagai penghasil minyak nabati," tandasnya. "Hanya sentimen dagang, lalu dimark-up sedemikian rupa."
Sejumlah negara yang merasa terganggu dengan dominasi sawit, menurut Maja, lalu melakukan kampanye hitam, berharap komoditas penghasil minyak nabati dari non-sawit yang mereka hasilkan mendapat tempat di pasar global.***