
Ilustrasi beasiswa sawit. Foto: kompas.com
Jakarta, myelaeis.com - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) mengakui sistem penyaluran dana untuk peserta program beasiswa sawit belum sepenuhnya beres, meski ribuan mahasiswa penerima tersebar dari Sabang sampai Merauke menggantungkan harapan pada program ini.
Direktur Penyaluran Dana Sektor Hilir BPDP, Muhammad Alfansyah, menegaskan bahwa keterlambatan uang saku memang jadi keluhan paling sering disuarakan mahasiswa. Ia tidak menampik bahwa mekanisme penyaluran berbeda dengan program beasiswa lain seperti LPDP.
“Dalam skema beasiswa sawit, kontrak dilakukan antara BPDP dengan perguruan tinggi, bukan langsung dengan mahasiswa. Jadi kampus yang harus menalangi uang saku lebih dulu. Kami akui soal uang ini sensitif, tapi kritik dan saran tetap kami terima agar mahasiswa tetap dapat haknya,” ujar Alfansyah dalam konferensi pers.
Hingga saat ini, 9.000 mahasiswa aktif masih menikmati beasiswa sawit. Tahun ini, BPDP menambah kuota baru sekitar 4.000 orang, dengan seleksi ketat mulai dari akreditasi kampus, program studi yang sesuai, hingga pemerataan wilayah.
Namun, polemik keterlambatan uang saku membuat sebagian mahasiswa resah. Pasalnya, banyak di antara mereka berasal dari keluarga petani sawit dengan keterbatasan ekonomi.
“Penting bagi kami menunjukkan keseriusan mendidik anak-anak dari Aceh sampai Papua. Masalah teknis seperti uang saku harus segera dibenahi,” tambah Alfansyah.
Sumber masalah lain datang dari jadwal pendaftaran mahasiswa baru yang tidak selalu sinkron dengan kalender akademik perguruan tinggi negeri. Hal ini kerap membuat proses pencairan uang saku jadi tersendat.
Untuk menghindari keterlambatan berulang, BPDP menjanjikan perbaikan sistem dengan digitalisasi administrasi mulai tahun depan. Harapannya, proses pencairan uang saku bisa lebih cepat, transparan, dan tanpa menunggu mekanisme berlapis.
Selain pendidikan akademik, mahasiswa penerima beasiswa sawit juga dibekali praktik lapangan agar siap menjadi calon pekebun profesional. “Kami ingin mereka bukan hanya cerdas secara teori, tapi juga tangguh secara mental dan fisik,” jelas Alfansyah.
Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Ditjen Perkebunan Kementan, Baginda Siagian, menegaskan pihaknya sudah berkoordinasi dengan Ditjen Dikti agar ada relaksasi khusus.
“Program beasiswa sawit ini berbeda dengan reguler, jadi tidak bisa dipaksakan sama. Kemendikti sudah setuju memberikan kelonggaran,” katanya.
Meski dihantui masalah administrasi, pemerintah dan BPDP optimistis program ini tetap akan mencetak SDM unggul perkebunan. Mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia diharapkan menjadi motor penggerak industri sawit berkelanjutan di masa depan.
“Kalau ada keterlambatan uang saku, itu murni soal administrasi. Yang penting, kuliah dan pembelajarannya tidak terhambat,” tegas Baginda Siagian.
Dengan perbaikan sistem, beasiswa sawit diharapkan tidak lagi tersandung masalah teknis, melainkan benar-benar fokus menyiapkan generasi muda untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen sawit terbesar dunia.***