Berita > Ragam
UUPA Tidak Bisa Dilaksanakan dengan Baik, Akademisi Sebut Tersendat Sejak Hadirnya UU Kehutanan
Guru Besar IPB, Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto. Foto: Dok Elaeis
Jakarta, myelaeis.com - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, menegaskan pentingnya kembali menegakkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai landasan hukum pertanahan nasional.
Menurutnya, banyak petani di Indonesia justru terzolimi karena UU Agraria mulai dilupakan dan terpinggirkan oleh regulasi lain, salah satunya UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999.
“Jadi sudah waktunya kita kembali ke UU Agraria,” tegas Prof. Budi, Kamis (25/09).
UUPA sejatinya menjadi fondasi utama dalam mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di Indonesia.
UU ini menggantikan sistem kolonial dan mengintegrasikan prinsip hukum adat untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi rakyat tani.
Namun, menurut Prof. Budi, pelaksanaannya kerap tersendat sejak hadirnya UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, yang justru membuat banyak kawasan pertanian, perkebunan, hingga permukiman terdefinisi sebagai kawasan hutan.
“UU Agraria tidak bisa dilaksanakan dengan baik karena ada UU tandingan namanya UU Kehutanan,” jelasnya.
Dalam UU Kehutanan Pasal 1 Ayat 2, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan. Namun, Prof. Budi menilai definisi ini kerap menimbulkan masalah.
“Kalau ada hamparan yang vegetasinya bukan pohon, seperti sudah berkembang menjadi lahan pertanian, perkebunan, permukiman, transmigrasi, PIR, dan program-program pemerintah lainnya, selayaknya tidak didefinisikan kawasan hutan,” papar Prof. Budi.
Lebih lanjut, Prof. Budi menyebut bahwa banyak konflik agraria saat ini berakar dari tumpang tindih antara klaim kawasan hutan dan kawasan perkebunan.
Banyak penetapan kawasan hutan tidak melalui prosedur yang benar karena tidak didahului inventarisasi lengkap sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan itu sendiri.
Situasi ini membuat hak-hak masyarakat adat, petani, hingga transmigran sering kali tersingkir. “Banyak petani akhirnya kehilangan tanahnya karena ada klaim kawasan hutan yang ditetapkan sepihak,” imbuhnya.
UUPA sejatinya diciptakan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan tanah, memberi kepastian hukum, membuka lapangan kerja, hingga menciptakan keadilan sosial.
Prof. Budi menegaskan, kesejahteraan petani hanya bisa tercapai jika UUPA kembali ditegakkan secara konsisten.
“Padahal UU Agraria sudah meletakkan dasar hukum agraria nasional yang akan membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi rakyat, terutama rakyat tani,” ucapnya.
“Jadi memang sudah waktunya kembali ke UU Agraria untuk mensejahterakan petani,” tutupnya.***


