Ketua Umum SPKS, Sabarudin. Foto: agricom.id
Jakarta, myelaeis.com - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendesak Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meninjau ulang kebijakan Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) sawit.
Menurut SPKS, aturan pungutan yang berlaku saat ini justru membebani 3,5 juta petani sawit dan sekitar 14 juta jiwa keluarganya, sementara yang diuntungkan hanyalah segelintir konglomerat besar pemilik pabrik biodiesel.
Ketua Umum SPKS, Sabarudin, mengungkapkan kondisi petani sawit kian terhimpit akibat tingginya harga pupuk dan kebutuhan pokok, sementara harga Tandan Buah Segar (TBS) jatuh karena terdistorsi pungutan ekspor. “Setiap kenaikan 1 persen Pungutan Ekspor bisa memangkas harga TBS sebesar Rp300–Rp500 per kilogram. Itu sangat merugikan petani kecil,” ujarnya.
SPKS menilai dana hasil pungutan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) selama ini tidak berpihak pada petani. Sekitar 90 persen dana justru dialokasikan untuk subsidi biodiesel, yang notabene menguntungkan perusahaan besar produsen minyak sawit terintegrasi. “Ini jelas timpang. Dana yang dikumpulkan dari keringat petani, justru kembali lagi ke konglomerat biodiesel,” tambah Sabarudin.
Sejak diberlakukan pada 2015, skema pungutan ekspor sawit memang diklaim pemerintah sebagai upaya mendukung hilirisasi industri sawit. Namun bagi petani, realitasnya jauh berbeda. SPKS mencatat mayoritas dana triliunan rupiah hasil pungutan lebih banyak disalurkan untuk subsidi biodiesel, bukan untuk kepentingan langsung petani.
Sebagai contoh, Kementerian ESDM tahun ini menambah alokasi subsidi program biodiesel B40 sebesar Rp16 triliun, dengan proyeksi kebutuhan dana mencapai Rp67 triliun pada 2025. Menurut SPKS, angka fantastis ini menunjukkan keberpihakan pemerintah yang lebih condong pada industri besar dibanding kesejahteraan petani.
“Dimana letak keadilannya? Petani tercekik harga pupuk, jalan kebun rusak, akses sarana produksi terbatas, sementara dana puluhan triliun hanya untuk menopang korporasi biodiesel,” tegas Sabarudin.
Melihat kondisi ini, SPKS meminta Menkeu Purbaya berani melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pungutan ekspor sawit. Dukungan Presiden Prabowo Subianto juga dinilai penting agar regulasi bisa lebih adil dan berpihak kepada petani.
“Kami berharap Presiden mau melihat langsung kondisi 14 juta rakyat yang hidupnya bergantung pada sawit. Jangan sampai petani terus jadi pihak yang menanggung beban, sementara industri besar menikmati hasilnya,” kata Sabarudin.
Saat ini, sekitar 42 persen dari total luas perkebunan sawit nasional dikelola oleh petani kecil, dengan luas mencapai 7,2 juta hektare. Artinya, lebih dari 3,5 juta keluarga petani menjadi penopang utama produksi sawit Indonesia. Menurut SPKS, sudah saatnya dana pungutan sawit dikembalikan untuk mendukung kebutuhan nyata mereka.
SPKS mengusulkan agar dana pungutan dialokasikan langsung bagi kepentingan petani, misalnya untuk penyediaan pupuk terjangkau, perbaikan infrastruktur jalan kebun, penyediaan alat transportasi produksi, hingga insentif harga TBS yang dipasok untuk kebutuhan biodiesel nasional.
Selain itu, SPKS juga mendesak agar perusahaan penerima subsidi biodiesel diwajibkan bermitra langsung dengan petani. Dengan begitu, rantai pasok menjadi lebih adil, harga TBS lebih terjamin, dan ketergantungan petani pada tengkulak bisa dikurangi.
“Program biodiesel memang penting sebagai proyek energi nasional. Tapi tanpa melibatkan petani sebagai penyedia bahan baku utama, manfaatnya tidak akan sampai ke akar rumput,” pungkas Sabarudin.***






