Ilustrasi ekspor CPO. Foto: bpdp.or.id
Jakarta, myelaeis.com - Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) kembali menegaskan komitmennya untuk memperkuat citra sawit berkelanjutan di pasar global.
Dalam seminar Visi Ekonomi Hijau pada rangkaian The 2nd Indonesia Palm Oil Research and Innovation Conference and Expo (IPORICE) 2025 di Jakarta, Wakil Sekretaris Jenderal CPOPC, Musdhalifah Machmud, menekankan bahwa sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil) adalah senjata utama industri sawit untuk melawan kampanye negatif, terutama dari Eropa.
Menurutnya, keberadaan ISPO dan MSPO bukan sekadar formalitas, tetapi bukti nyata bahwa minyak sawit Indonesia dan Malaysia telah mengadopsi sistem keberlanjutan secara mandatori.
“Sebenarnya, ISPO dan MSPO itu kekuatan kami memasarkan sawit. Karena kita umumkan ke dunia, kelapa sawit sudah mengimplementasikan sustainability system di antara semua vegetable oil,” ujarnya.
Musdhalifah menepis anggapan bahwa ISPO dan MSPO memiliki perbedaan yang bisa menimbulkan kontradiksi. Sebaliknya, kedua skema tersebut saling melengkapi dan diakui bersama. Ia mencontohkan bagaimana Malaysia melalui MSPO secara terbuka mengakui keberadaan ISPO di Indonesia, karena pada dasarnya keduanya memiliki substansi yang hampir sama.
Saat ini, MSPO telah mencakup lebih dari 92 persen pelaku industri sawit di Malaysia. Indonesia pun terus berupaya mempercepat implementasi ISPO agar cakupannya semakin luas dan bisa menjadi standar nasional yang kokoh dalam menghadapi regulasi global. “Kita perlu dukungan semua pihak supaya ISPO segera bisa dipercepat implementasinya,” tegasnya.
CPOPC menyadari tantangan besar yang dihadapi industri sawit di pasar Eropa. Kampanye negatif yang mengaitkan sawit dengan deforestasi dan kebakaran hutan masih sering digaungkan. Untuk itu, Musdhalifah menekankan pentingnya melawan isu-isu tersebut dengan informasi berbasis data dan bukti ilmiah.
Ia menyebut, langkah CPOPC menggandeng konsultan komunikasi di Eropa mulai menunjukkan hasil. Kampanye negatif disebut menurun seiring meningkatnya penyebaran informasi positif dari produsen. Salah satu narasi kunci yang terus diangkat adalah penurunan angka deforestasi di Indonesia hingga 70 persen, serta fakta bahwa tidak ada lagi kebakaran hutan besar dalam beberapa tahun terakhir.
Bahkan, petani perempuan dari Indonesia telah dihadirkan langsung ke Eropa untuk menyuarakan bahwa sawit bukan sekadar komoditas, melainkan sumber mata pencaharian bagi jutaan keluarga. Upaya diplomasi personal ini dinilai efektif dalam menyentuh hati publik internasional.
Langkah komunikasi positif itu juga diyakini turut berkontribusi pada keputusan Uni Eropa menunda penerapan EU Deforestation Regulation (EUDR) hingga 1 Januari 2026, dari rencana awal 1 Januari 2025. Penundaan ini memberi waktu tambahan bagi Indonesia dan Malaysia untuk memperkuat sistem traceability sekaligus memastikan sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO dan MSPO diakui dunia.
“Penundaan ini adalah kesempatan emas untuk memperbaiki sistem kita. Jadi, saat regulasi itu benar-benar berlaku, sawit kita sudah siap bersaing,” ujar Musdhalifah.
Lebih jauh, CPOPC menekankan pentingnya sains sebagai landasan komunikasi internasional. Musdhalifah menuturkan bahwa setiap narasi harus didukung oleh bukti ilmiah, agar posisi negara produsen sawit lebih kuat dalam menghadapi tekanan regulasi maupun kampanye hitam. “Jika ada informasi ilmiah yang relevan, mohon disampaikan ke kami agar bisa disuarakan secara global,” ujarnya.
Dengan penguatan ISPO dan MSPO, ditopang oleh komunikasi berbasis riset, CPOPC optimistis industri sawit tidak hanya bertahan menghadapi tekanan, tetapi juga semakin diakui sebagai bagian penting dari ekonomi hijau global. Sawit berkelanjutan pun diharapkan mampu menepis stigma, sekaligus meneguhkan perannya sebagai energi masa depan dunia.***






