https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Persona

Kurnia; Suluh Perempuan Suku Anak Dalam

Kurnia; Suluh Perempuan Suku Anak Dalam

Kurnia, kini telah menjalani semester 2 di Poltekkes Jambi jurusan Keperawatan. foto: dok. pribadi.

Anak kedua dari empat bersaudara ini menjadi perempuan pertama Suku Anak Dalam (SAD) yang bersekolah tinggi.  

Kalau saja pegawai Kehutanan Jambi itu tidak datang pada pertengahan semester kuliah lalu, bisa jadi sampai sekarang Junita tidak akan tahu kalau Kurnia ternyata anak Suku Anak Dalam (SAD). 

Kebetulan sedari awal masuk ke Politeknik Kesehatan (Poltekkes) milik Kementerian Kesehatan itu, Kurnia pakai jalur umum; mendaftar jadi mahasiswi program Diploma III Keperawatan itu pun lewat internet. 

Lantaran jalur umum, waktu mengikuti serangkaian tes di kampus di kawasan jalan Haji Agus Salim Kota Baru, Jambi pun, perlakuan yang dia dapat sama dengan mahasiswa lain. 

"Orang-orang malah beranggapan kalau saya ini orang jawa," tertawa Kurnia saat bercerita dengan myelaeis.com, tadi pagi. 

Tahu dari orang Kehutanan tadilah Junita kaget. "Kok enggak ngasi tahu sedari awal? Kalau dikasi tahu kan kamu bisa dapat beasiswa," tegur Ketua Jurusan Keperawatan ini saat Kurnia datang ke ruangannya. 

Orang kehutanan tadi ada di sana. Di situ juga Kurnia tahu kalau tujuan orang kehutanan itu datang untuk men-shoting dirinya. 

 

Nugraha (kanan), Kurnia (dua dari kanan) dan Muripah (pertama dari kiri). Mereka diabadikan persis saat Kurnia menyelesaikan pendidikan SMA. foto: dok pribadi

"Shotingnya di kelas. Dosen enggak ngasi tahu teman-teman terkait SAD. Tahunya cuma bikin film. Itulah makanya sampai sekarang hanya dosen yang tahu kalau anak SAD," kenang alumnus jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) SMA Negeri 3 Merangin Provinsi Jambi itu. 

Ada sederet alasan kenapa dosen tak mau mengasi tahu perempuan yang karib dipanggil Nia ini anak SAD. Takut Kurnia akan diejek, nanti ngedrop pula.

Baca juga: Cerita Perempuan Camp 19

"Nggak masalah jikapun mereka tahu. Saya enggak malu kok jadi anak SAD, malah bangga," suara perempuan asal Air Panas, Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun, Jambi ini terdengar tegas. 

                                                                                        *****

Sebenarnya, tak pernah terbayang oleh Kurnia bakal mampu bersaing dengan 6000 orang pendaftar di Poltekkes itu. 

Apalagi akan berada di urutan ke-75 dari 250 mahasiswa yang diterima di Jurusan Keperawatan. Termasuk dapat Indeks Prestasi (IP); 3,52. 

 

Soalnya, setelah tamat SMA tahun lalu, Nia justru memilih ikut tes Polisi Wanita (Polwan) di Sarolangun. Cita-cita yang sudah dia bangun semenjak bocah.

Hanya saja waktu itu, tak ada jalur khusus untuk anak-anak SAD. Yang ada cuma jalur Bintara Polisi Tugas Umum (BTPU). 

Hasrat Kurnia kandas. Tinggi badannya kurang satu sentimeter dari 160 sentimeter yang dipersyaratkan. "Gagal dari situ, saya iseng-iseng browsing internet. Dari situlah saya tahu ada penerimaan di Poltekkes," katanya. 

Libur semester lalu, sebulan Nia di kampungnya. Awal pulang, teman-teman sebayanya yang notabene anak-anak SAD kaget saat tahu Nia kuliah. Jurusan Keperawatan pula.

Soalnya di kalangan mereka, belum ada yang sekolahnya sampai setinggi itu. "Sudah menjadi kebiasaan di kampung kalau anak perempuan itu enggak boleh sekolah tinggi. Nggak boleh kemana-mana. Di rumah saja bantu orang tua," katanya. 

Cucu Temenggung Basiring

Beruntung Kurnia punya sosok berpikiran maju seperti ayahnya; Nugraha yang orang Ayik Hitam dan ibunya Nuripah yang orang Mengkekal (Merangin). 

Gara-gara pemikiran maju itulah makanya Nia bisa mengenyam pendidikan sampai ke kota Merangin hingga ke ibukota provinsi; Jambi.

"Bagi ayah saya, anak SAD itu harus sekolah, apalagi perempuan. Sebab perempuan enggak bisa cari uang. Cari uangnya dari pendidikan. Makanya harus punya pendidikan tinggi," Kurnia memuji Nugraha. 

 

Kalau dirunut-runut, tak aneh sebenarnya bila Nugraha punya pemikiran maju. Sebab ayahnya, Temanggung Basiring --- Penguasa Ulayat Ayik Hitam di masanya --- adalah orang pertama yang meminta Pemerintah Sarolangun Bangko (Sarko) mendirikan sekolah untuk anak-anak SAD. 

Kabupaten Sarko sendiri adalah cikal bakal Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin sekolah. Dan  seiring waktu, sekolah yang diminta Temanggung  Basiring itu, kini menjadi SD Negeri 191 Pematang Kabau.  

Dan beruntung pula di kampung Nia ada perusahaan kelapa sawit bernama PT. Sari Aditya Loka (SAL), anak perusahaan PT. Astra Agro Lestari Tbk. 

Sebab gara-gara perusahaan yang pernah menjadi tempat Nugraha menjadi security inilah makanya sedari SMA, Nugraha tak lagi merogoh kocek dalam-dalam untuk kepentingan sekolah Kurnia. 

Sebab biaya Nia yang kost di Merangin, telah sepenuhnya ditanggung oleh SAL. Kalaupun Nugraha merogoh kocek, paling untuk nambah-nambah jajan putrinya. 

"Untuk kuliah ini juga dibiayai oleh SAL. Uang kost, uang saku, uang buku, termasuk fasilitas saya di tempat kost ditanggung. Waktu mau berangkat test juga  difasilitasi," katanya. 

Belakangan setelah kampus tahu Kurnia anak SAD, uang kuliahnya menjadi gratis. "Saya dapat beasiswa jadinya," perempuan ini sumringah. 

Kini, Kurnia sudah masuk semester dua. Semangatnya terus menggebu-gebu untuk segera menuntaskan kuliahnya itu. 

Sebab lagi-lagi, hasratnya untuk menjadi Polwan masih besar. "Sekarang umur saya baru masuk 19 tahun. Batas umur kan 22 tahun. Insya Allah bisa lah," malu-malu perempuan ini berterus terang. 

Meski hasrat masuk Polwannya menggebu-gebu, Nia tak bisa memungkiri kalau pikiran tetap tertuju pada keluarga besarnya; orang-orang SAD. 

Itulah makanya, terlepas dari urusan Polwan tadi setelah lulus dia ingin mengabdi di kampungnya. "Saya ingin ikut membantu mereka. Sebab kebanyakan tingkat kesehatan orang SAD masih rendah," suaranya bergetar.

Kini Nugraha bolak balik ke kebun sawitnya di Air Panas itu. Menghabiskan hari demi menunggu putrinya kembali.  

Pangkal Warih Tanah Garo,
Ujung Warih Tanah Serengam,
Ayik Itam Tanah Bejenang...

Ke sinilah Nia akan kembali, layaknya orang-orang SAD yang kembali ke Ayik Hitam. Sebab hanya di Ayik Hitamlah tempat tinggalnya Jenang; Penata ulayat; Orang yang paham dengan Ulayat semua SAD yang tersebar di Sarolangun, Merangin, Batanghari dan Tebo.

 

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS