https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Inovasi

Akademisi: Kekakuan Kebijakan B50 Berpotensi Menimbulkan Distorsi di Pasar Domestik

Akademisi: Kekakuan Kebijakan B50 Berpotensi Menimbulkan Distorsi di Pasar Domestik

Ilustrasi uji coba B50. Foto: bpdp.or.id

Jakarta, myelaeis.com – Sejumlah ekonom dan pengamat persaingan usaha mengingatkan kebijakan yang terlalu kaku soal mandatori biodiesel hingga 50 persen atau B50 bisa membuat Indonesia kalah bersaing di pasar sawit global.

Bersamaan dengan itu, menurut mereka,
negara tetangga seperti Malaysia justru mendapat keuntungan.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Dr. Eugenia Mardanugraha, menekankan pentingnya kebijakan fleksibel.

"Kalau Indonesia menerapkan mandatori B50 yang kaku, kita bisa kalah bersaing dengan Malaysia,” ujarnya saat menanggapi riset Produksi Sawit, Dinamika Pasar, serta Keseimbangan Biodiesel di Indonesia oleh Pusat Penelitian Pranata Pembangunan, Universitas Indonesia, Jumat (17/10).

Menurut Eugenia, Malaysia dan negara produsen sawit lain lebih adaptif terhadap pasar global. Saat ekspor Indonesia turun karena penyerapan CPO untuk biodiesel dalam negeri, negara-negara tersebut cepat mengisi celah pasar dan memperbesar pangsa ekspor mereka. 

“Mereka memegang kendali bursa harga CPO dunia. Kalau kita terlalu kaku, mereka yang akan untung,” tambahnya.

Selain itu, kekakuan kebijakan B50 juga berpotensi menimbulkan distorsi di pasar domestik. Harga minyak goreng bisa naik, sementara harga tandan buah segar (TBS) petani turun signifikan. 

Eugenia memperingatkan, kondisi ini bisa memicu praktik monopsoni, di mana eksportir besar menekan harga petani, yang merugikan pelaku usaha kecil.

KPPU mengawasi kemitraan antara perusahaan inti dan petani plasma agar tidak timpang. Jika perusahaan besar menekan harga jual petani, hal ini bisa dianggap pelanggaran UU UMKM dan UU Antimonopoli. 

“Dominasi perusahaan inti terhadap plasma bisa merusak iklim usaha dan merugikan petani,” katanya.

Dari sisi neraca perdagangan, riset UI memperlihatkan dampak ekonomi yang kompleks. Meski B50 diprediksi bisa menghemat devisa hingga Rp172 triliun akibat berkurangnya impor solar, ekspor CPO berpotensi turun hingga Rp190,5 triliun. Secara keseluruhan, neraca perdagangan bisa negatif Rp18,15 triliun.

Kebijakan B50 juga menuntut tambahan subsidi sekitar Rp46,45 triliun, yang hanya bisa ditutup jika tarif pungutan ekspor dinaikkan dari 10 persen menjadi 15,17 persen. Perhitungan tim riset UI menunjukkan, kenaikan ini bisa menekan harga TBS hingga Rp1.725 per kilogram di tingkat petani.

Eugenia menekankan perlunya kebijakan dinamis dan seimbang. “Ambisi energi hijau penting, tapi pemerintah juga harus melindungi petani dan pelaku usaha kecil. Kalau kebijakan terlalu kaku, yang kuat makin dominan, yang lemah makin tertekan,” tutupnya.

Dengan pendekatan fleksibel, Indonesia bisa tetap bersaing di pasar sawit global, menjaga keseimbangan ekonomi, sekaligus melindungi petani lokal dari tekanan harga yang merugikan.***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS