Ketua Umum SPKS, Sabarudin. Foto: agricom.id
Jakarta, myelaeis.com - Meskipun para petani sawit mandiri telah berhasil memperoleh sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). namun kenyatannya masih kesulitan dalam menjual kredit keberlanjutan.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin, sulitnya penjualan kredit itu dinilai menjadi penghambat realisasi insentif bagi petani itu sendiri.
Malah, menurut Sabarudin, masalah ini adalah isu mendesak yang memerlukan perhatian serius dari para pemangku kepentingan RSPO.
Sebagai contoh, Koperasi Produsen Perkebunan Persada Engkersik Lestari di Kalimantan Barat yang merupakan anggota SPKS dan telah bersertifikasi RSPO sejak 2024, tidak dapat pembeli kredit RSPO. Bahkan ini terjadi sampai dengan berakhirnya masa sertifikatnya.
"Padahal petani telah berinvestasi sumber daya dan biaya yang cukup besar untuk mencapai standar keberlanjutan RSPO. Kami merasa kecewa ketika upaya tersebut tidak dapat ditindaklanjuti dengan manfaat ekonomi yang dijanjikan melalui penjualan kredit," ujar Sabarudin, Sabtu (1/11).
Perihal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas sistem kredit. Dimana selama ini RSPO selalu menekankan bahwa skema kredit ini tidak bermasalah bagi petani.
"Kami juga melihat sekretariat RSPO sangat lamban dalam memfasilitasi koperasi yang tersertifikasi pembeli – pembeli kredit petani. Dan terkesan hanya memprioritaskan kelompok - kelompok tertentu," bebernya.
Sabarudin menekankan bahwa jika situasi ini berlanjut, petani sawit kecil berpotensi kehilangan dorongan untuk berkomitmen pada produksi Minyak Sawit Berkelanjutan melalui Bersertifikat RSPO.
Ia juga menilai kondisi saat ini berisiko membuat sistem sertifikasi RSPO terkesan lebih menguntungkan perusahaan besar yang memiliki jalur rantai pasok langsung.
"Kendala ini dapat mengurangi manfaat ekonomi yang seharusnya diterima petani kecil atas komitmen mereka terhadap keberlanjutan. Dalam jangka panjang, ini dapat menghambat upaya kita bersama untuk menciptakan inklusivitas dalam sektor sawit berkelanjutan di Indonesia," tambah Sabarudin.
Untuk itu SPKS minta agar Forum RSPO di Kuala Lumpur pada tanggal 3-5 November 2025 dapat memberikan ruang khusus untuk membahas dan meninjau ulang mekanisme penjualan kredit RSPO bagi petani sawit mandiri.
"Kami mengimbau forum RSPO untuk segera meninjau kendala yang dialami petani sawit di lapangan. Kami berharap ada dialog konstruktif dan solusi yang dapat menjamin kredit petani sawit yang telah bersertifikasi dapat terserap secara efektif dan adil oleh pasar global," tutup Sabarudin, sambil menyerukan perubahan sistem demi dukungan yang lebih baik bagi petani kecil.
RSPO adalah sistem sertifikasi global yang bertujuan menjamin produksi dan pasokan minyak sawit yang berkelanjutan.
Sertifikasi ini memastikan praktik perkebunan yang bertanggung jawab, termasuk menghindari deforestasi dan melindungi hak-hak pekerja. Organisasi ini melibatkan produsen, pengolah, pedagang, hingga pengguna akhir minyak sawit.
SPKS juga sebagai anggota RSPO tetap berkomitmen untuk mendorong anggotanya masuk dalam sertifikasi RSPO.***






