https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

Cerita Tumin soal Anggota KUD yang Menolak Ikut PSR, Alasannya Ogah Berutang ke Bank

Cerita Tumin soal Anggota KUD yang Menolak Ikut PSR, Alasannya Ogah Berutang ke Bank

Kualitas dan harga TBS milik petani sawit yang ikut PSR selalu lebjh baik ketimbang yang tidak ikut PSR. Foto: Istimewa

"Standar dalam pelaksanaan  PSR  benar-benar menggunakan standar perusahaan perkebunan sawit."

TIDAK semua petani sawit mau ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Mereka yang menolak umumnya menilai dana PSR Rp 25 juta (kini Rp 30 juta) per hektar maksimal empat hektar untuk setiap petani dianggap kurang memadai.

Tumin, Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Sumber Makmur, punya kisah tentang itu. "Dan soal yang terkait KUR itu pernah saya alami," kata Tumin.

Sebagai informasi, KUD Sumber Makmur yang dipimpin Tumin beralamat di Desa Sukamaju, Kecamatan Bagansinembah, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Provinsi Riau.

Ia menjelaskan, sekitar lima tahun yang lalu seluruh anggota KUD hendak mengajikan Program PSR seluas 328 hektar (Ha) kepada Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

"Namun karena ada yang menilai realisasi Program PSR tersebut lama, maka di antara kami itu ada yang mundur. Kalau tak salah jumlahnya 28 petani sawit," ucapnya.

"Dengan demikian, maka tinggal 266 hektar yang ikut Program PSR yang dikelola oleh 105 petani sawit anggota KUD Sumber Makmur ," kata Tumin.

Kemudian, di saat yang sama, kata Tumin, ada yang mengungkapkan alasan mundur karena mereka menolak untuk berhutang ke bank melalui program kredit usaha rakyat (KUR).

Kata dia, ada seorang petani sawit anggota KUD Sumber Makmur yang dikenal sebagai pemuka agama yang menolak dengan keras untuk berhutang ke bank.

"Mereka juga menolak berhutang ke bank melalui Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) karena dianggap berpotensi memberatkan dan bakal menimbulkan masalah," ia menjelaskan.

Singkat kata, ungkap Tumin, ia dan ratusan petani sawit lainnya tetap bersepakat mengajukan Program PST dan di masa itu menerima dana sebesar Rp 25 per hektar maksimal empat hektar.

"Lalu kami menerima per orang dana Program PSR dari BPDPKS sebesar Rp 50 juta atau per hektar Rp 25 juta," ungkap Tumin. 

"Selanjutnya, karena dana tak mencukupi, maka kami ajulan kredit ke BRKS, dan kami disambut baik serta diberikan pelatihan atau masukan soal pengelolaan uang," kata Tumin.

Karena mendapatkan pelatihan manajemen pengelolaan finansial secara benar dari Bank Rau Kepri Syariah (BRKS), Tumin bilang masing-masing anggota KUD Sumber Makmur bisa membayar cicilan sebesar Rp 1 jutaan kepada pihak BRKS.

"Sehingga kami bisa secara teratur membayar kredit kami sebesar Rp 1 jutaan ke BRKS dari hasil menjual TBS kami yang berkualitas baik," ucapnya.

Selanjutnya, di suatu waktu dirinya berjumpa dengan pemuka agama yang tak mau ikut Program PSR karena tak mau berhutang ke bank.

"Suatu saat saya jumpa sama salah satu petani sawit yang mundur dari Program PSR. Dia kebetulan seorang pemuka agama," kata Tumin.

"Pemuka agama itu bilang ke saya, kami (yang enggak ikut Program PSR - red) tetap engfak ada beban, enggak perlu bayar hutang ke BRKS," kata Tumin menirukan ucapan pemuka agama tersebut.

Karena tidak mau kalah debat, Tumin mengungkapkan fakta yang sebenarmya dari KUR ke BRKS tersebut.

Ia lalu bertanya balik ke pemuka agama itu tentang jumlah tandan buah segar (TBS) yang berhasil dipanen di kebun sawit milik sang pemuka agama.

"Saat itu saya tanya ke beliau, bapak sekali panen TBS berapa banyak? 300 kilogram dia jawab. Kalau sebulan, 600 kilogram," kata Tumin. 

Ia lalu bertanya kembali berapa harga TBS milik si pemuka agama, dan dihawab berkisar Rp 1.700 sampai Rp 1.800 per Kg di tingkat pabrik kelapa sawit (PKS).

Tumin lalu menunjukan hasil panen TBS ke si penuka agama, dan jumlah duit yang diperoleh dari hasil penjualan TBS mereka ke PKS.

Ia menjelaskan, dari tiap kavling atau setara dua hektar kebun sawit yang ikut Program PSR, dihasilkan panen TB sebanyak 4 ton per bulan.

"Harga TBS kami sekitar Rp 2.500 per kilogram beberapa bulan lalu sewaktu saya berdebat dengan pemula agama tadi. Sekarang sudah hampir Rp 3.000 per Kg," ujarnya.

"Kalau cicilan kami di BRKS sebesar Rp 1.500.000 per bulan, maka cicilan itu pasti bisa dibayar karena keuntungan hasil penjualan TBS saja Rp 10.000.000 per bulan," Tumin menjelaskan.

Kepada pemuka agama tersebut, Tumin menjelaskan hutang berupa KUR milik petani sawit yang ikut Program PSR adalah hutang produktif, bukan hutang untuk foya-foya.

"Sudah saya jelaskan seperti itu pun mereka tetap enggak mau ikut Program PSR lagi," ungkap Tumin dengan nada heran. 

Padahal di Program PSR itu, ujar Tumin, lahan sawit milik petani ditraktor sampai dua kali, diciping, menggunakan bibit bersertifikat dari Pusat Penelitian kelapa Sawit (PPKS) Medan.

"Artinya, standar dalam Pelaksanaan Program PSR itu ya benar-benar menggunakan standar perusahaa. perkebunan sawit," Tumin menerangkan.

Sementara yang enggak ikut PSR itu, Tumin menyindir, bibitnya adalah bibit cabutan yang entah dari mana asal-usul dan kualitasnya.

"Waktu itu harga bibit kami dari PPKS sekitar 30 ribuan rupiah per batang. Lah, bibit sawit mereka yang tak jelas asal-usulnya itu cuma Rp 6.000 per batang," kata dia.

Waktu berlalu. Lima tahun lalu mereka sudah menjalani Program PSR dan kini sudah menikmati hasilnya dan terus akan menikmati hasilnya hingga 20 atau 25 tahun le depan dengan harga TBS yang sangat baik.

"Dan selama itu pula teman-teman yang menolak ikut Program PSR, harga TBS-nya bakal selalu lebih rendah dari harga TBS kami," tegas Tumin.



 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS