Berita > Ragam
Ahli IPB: Sawit Rakyat Bukan Sekadar Tanaman, tapi Bagian dari Fondasi Ekonomi Masyarakat
Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo. Foto: antaranews.com
Jakarta, myelaeis.com - Perlu kehati-hatian pemerintah dalam menata kebijakan penertiban kawasan hutan, khususnya yang menyentuh perkebunan sawit rakyat.
Demikian dikatakan Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo.
Ia memperingatkan, kesalahan penanganan bisa membuat sektor sawit Indonesia jatuh seperti industri gula pasca-nasionalisasi.
Menurut Sudarsono, sejarah industri gula Indonesia adalah peringatan keras. Pada era nasionalisasi, produksi gula merosot drastis karena tiga faktor utama: kerusakan institusi, sistem insentif yang salah, dan ketidakstabilan kebijakan.
“Yang hilang bukan cuma pabrik atau lahan, tapi juga struktur organisasi, manajemen berpengalaman, dan ekosistem bisnis. Akibatnya, efisiensi teknis ambruk, produktivitas menurun, dan kualitas tebu jeblok,” ujarnya, kemarin.
Ia menambahkan, pergeseran pengelolaan dari logika bisnis ke birokrasi justru membuat petani dan pekerja kehilangan motivasi. Kebijakan harga, batasan impor, hingga strategi peremajaan pabrik yang berubah-ubah membuat industri gula kehilangan arah.
“Industri gula itu jangka panjang. Kalau kebijakan sering berubah, investasi dan peningkatan kapasitas tidak mungkin berjalan,” katanya.
Sudarsono menyoroti, Thailand dan Brasil justru bisa menjaga stabilitas industrinya karena integrasi kebun-pabrik yang jelas, penentuan harga berbasis rendemen, dan sistem bagi hasil transparan bagi petani.
Indonesia, di sisi lain, masih terpaksa impor gula besar-besaran, padahal produksi dalam negeri cuma 2,6 juta ton, jauh di bawah Thailand yang 10 juta ton. Konsumsi nasional mencapai 7,8 juta ton, membuat negara terus tergantung pada pasar luar.
“Pelajaran dari gula sangat relevan untuk sawit rakyat sekarang. Jika aset perkebunan dialihkan tanpa memastikan keberlanjutan produksi dan kompetensi pengelola, Indonesia berisiko mengulang kesalahan yang sama,” jelas Sudarsono.
Ahli IPB ini menekankan, sawit rakyat bukan sekadar tanaman, tapi bagian dari fondasi ekonomi masyarakat. Salah langkah, hilang produktivitasnya, nilai tambah lenyap, dan masyarakat justru rugi besar.
Sudarsono menegaskan, pemerintah harus memastikan pengelolaan profesional, bukan hanya kontrol politik, agar sawit tetap bisa menjadi motor ekonomi rakyat.
Jika diabaikan, sawit rakyat bisa kehilangan ujungnya seperti gula dengan produksi merosot, impor meningkat, dan rakyat menanggung rugi.***






