Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono. Foto: gapki.id
Nusa Dua, myelaeis.com - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, meminta agar media jangan berhenti menjadi garda terdepan dalam melawan narasi negatif soal kelapa sawit.
Berbicara saat penutupan Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2025, Eddy
menegaskan, sudah saatnya fakta-fakta keberlanjutan yang jarang terdengar publik diangkat lebih besar, lebih lantang, dan lebih masif.
Di hadapan para jurnalis di Nusa Dua, Bali, pada 14 November 2025, Eddy menyampaikan apresiasinya kepada seluruh awak media yang selama IPOC ke-21 terus menyebarkan informasi yang akurat dan berimbang.
“Kami berterima kasih kepada awak media yang telah banyak membuat pemberitaan selama kegiatan IPOC berlangsung,” ujarnya.
“Setiap tahun selalu ada hal baru—mulai dari perkembangan industri, tren global, sampai regulasi internasional—yang penting banget diketahui publik," tambahnya.
Eddy menekankan bahwa isu-isu sawit selalu menjadi konsumsi global. Maka, informasi yang sampai ke masyarakat harus benar-benar berbasis data, bukan asumsi atau kampanye hitam. Menurutnya, media adalah jembatan utama untuk memastikan publik tidak terjebak narasi yang menyesatkan.
“Semoga tahun depan kita bisa bertemu lagi di IPOC berikutnya. Harapan kami, teruslah suguhi publik dengan pemberitaan positif tentang sawit berkelanjutan,” katanya.
Pesan senada juga dilontarkan Deputi Sekjen Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Dr. Musdhalifah Machmud.
Ia mengingatkan bahwa negara-negara produsen sawit, termasuk Indonesia dan Malaysia, perlu lebih percaya diri melawan tuduhan bahwa sawit adalah perusak lingkungan.
“Kita harus bangga. Negara produsen minyak sawit masuk yang terbesar di dunia, tapi tetap punya cakupan kawasan hutan yang luas,” tegasnya.
Musdhalifah menilai, framing negatif yang selama ini dilemparkan ke sawit sering kali tidak adil. Ada komoditas lain yang dipromosikan sebagai ramah lingkungan, padahal negara produsennya justru nyaris tak memiliki hutan tersisa.
“Tidak fair ketika negara lain mengembangkan komoditas lain tanpa hutan, tapi kita yang masih punya 63 persen kawasan hutan justru dituding merusak lingkungan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa keberadaan masyarakat adat dan komunitas desa di sekitar hutan lah yang membuat kawasan tersebut tetap terjaga. Ekonomi berbasis perkebunan sawit membantu mencegah deforestasi oleh aktivitas ilegal karena masyarakat justru menjaga kawasan yang menjadi sumber penghidupan mereka.
“Maka sangat keliru anggapan sawit merusak lingkungan. Yang benar, ekosistem berubah—tapi hutan tetap ada, dan masyarakat yang hidup di pinggir kawasan justru menjaga curah hujan, menjaga keseimbangan ekologis,” ucapnya.***






