https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

Bagian Kedua

Warna-Warni Perjalanan Petani Sawit Gotting Sidodadi; Bikin Camat Syok!

Warna-Warni Perjalanan Petani Sawit Gotting Sidodadi; Bikin Camat Syok!

Meski mengalami tekanan yang luar biasa, semangat masyarakat untuk melakukan perlawanan tetap membumbung. Mereka tidak hanya mengadukan nasib ke DPRD Asahan, tapi juga ke DPRD Provinsi Sumatera Utara dan bahkan berangkat ke Jakarta. 

“Waktu itu ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang benar-benar tulus membantu kami. Mereka benar-benar murni dan terenyuh menengok penderitaan petani,” kenang Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (DPP-Aspekpir) ini. 

Di lapangan kata Syarifuddin, perlawanan terus terjadi. Insiden yang paling tak terlupakan oleh warga adalah ketika kaum emak-emak melakukan aksi nekat. “Maaf cakap,” Syarifuddin setengah berbisik, “Mamak-mamak sampai buka baju, telanjang di depan camat. Sampai segitunyalah bentuk perlawanan kami di masa itu. Semua itu terjadi lantaran kami merasa bahwa marwah kami telah diinjak-injak,” serius mimik wajah Syarifuddin. 

Mendapati nekatnya emak-emak tadi lanjut Syarifuddin, camat pulang dalam keadaan shock berat. “Tapi itulah titik baliknya. Pemerintah kabupaten akhirnya menyerah. Pada tahun 1994, kebun kami dikembalikan oleh Pemkab,” katanya. 

Meski kebun telah kembali, masyarakat kata Syarifuddin tidak bisa langsung menikmati hasilnya. Sebab kondisi kebun telah rusak parah. Pohon sawit kurus tak terawat, tanah gersang, banyak gulma tumbuh liar. “Hampir setahun kami enggak panen apa-apa,” ujarnya. 

Walau dihadapkan pada situasi semacam itu, semangat masyarakat tidak pernah meredup. Mereka mulai merawat kebunnya hingga kemudian kondisi kebun berangsur normal, hasil panen mulai menggembirakan.

Yang membikin masyarakat semakin gembira adalah lantaran harga Tandan Buah Segar (TBS) mendadak melejit. Menyentuh angka Rp4000 perkilogram. Ini terjadi persis di tahun 1998. 

“Pesta pora lah masyarakat. Duit hasil sawit bisa dipakai buat bangun rumah, beli kendaraan, bahkan bikin kantor koperasi,” lelaki ini tertawa. 

Hanya saja dibalik kegembiraan itu, ada satu hal yang rupanya masih menjadi masalah besar. Gara-gara lahan kebun sempat diambil alih oleh Pemkab tadi, banyak sertifikat lahan itu atas nama pejabat dan bahkan orang tak dikenali masyarakat. 

Tahun 2012, untuk pertama kali Syarifuddin terpilih menjadi Ketua KPKS ‘Kesepakatan’. Koperasi ini sebetulnya bukan kelembagaan pertama yang menaungi kebun-kebun masyarakat. Sebab sebelumnya sudah ada ‘Saroha’. 

Baca juga: Warna-warni Perjalanan Petani sawit Gotting Sidodadi

Begitu Syarifuddin menjadi nahkoda, dia kemudian langsung bergerak cepat menata administrasi petani maupun kebun. Di situlah terbongkar kenyataan pahit tadi. “Dari 181 persil sertifikat lahan, hanya sekitar 10 persen nama pemilik asli,” terangnya.

Yang membikin lelaki ini kaget bukan kepalang, ada nama 160 kepala desa dari seluruh Kabupaten Asahan yang tertera di sertifikat kebun masyarakat itu. Artinya, kebun yang mereka kelola selama puluhan tahun ternyata masih atas nama orang lain.

Inilah kemudian yang diberesi oleh Syarifuddin dan kawan-kawan pengurus. Mereka mulai menata ulang data, menginventarisasi lahan satu per satu, bahkan memetakan ulang biar benar-benar ketahuan siapa sebenarnya pemilik sah setiap kaplingan yang ada.

Setelah semuanya ketemu, mereka kemudian mengajukan kepada Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) dan Bupati Asahan agar nama-nama pemilik sebenarnya ditetapkan secara resmi.

Singkat cerita, keluar lah SK Bupati yang menetapkan nama-nama petani asli sebagai pemilik sah. Tapi apes, begitu nama-nama itu diajukan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Asahan, persoalan baru nongol. 

“BPN bilang nama-nama di sertifikat lama itu enggak bisa dibatalkan. Kalau mau sertifikat itu dibatalkan, harus melalui proses pengadilan. Kami harus menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” Syarifuddin nyengir. 

Suka tidak suka, perjuangan lanjutan kembali dimulai. Ini persis di tahun 2015. Alhamdulillah, setelah melalui proses yang panjang dan berliku, gugatan masyarakat dikabulkan oleh PTUN. 

PTUN memerintahkan agar BPN membatalkan sertifikat yang lama dan menerbitkan sertifikat baru atas nama para petani yang sebenarnya. Tahun 2018, sertifikat baru pun terbit.

“Waktu itu rasanya seperti menang perang saja,” sisa-sisa rasa haru itu masih nampak di wajah Syarifuddin. “Setelah lebih dari 30 tahun, akhirnya kami kembali menjadi pemilik sah lahan-lahan kebun itu,” tambahnya. 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS