https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

Ini Penjelasan Eks Sekjen Kemenhut Soal 1,6 Juta Ha Hutan Era Zulhas Dilepas

Ini Penjelasan Eks Sekjen Kemenhut Soal 1,6 Juta Ha Hutan Era Zulhas Dilepas

Mantan Sekjen Kemenhut, Hadi Daryanto. Foto: indonews.id

Jakarta, myelaeis.com – Polemik pelepasan kawasan hutan seluas 1,6 juta hektare (Ha) pada era Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Zulhas) kembali menghangat. 

Meski dokumen hukumnya sudah berkali-kali dibuka, tudingan bahwa kebijakan ini “karpet merah untuk sawit” lagi-lagi menyeruak. Ironisnya, pernyataan mantan Sekjen Kemenhut, Hadi Daryanto, justru menunjukkan fakta yang berkebalikan.

Hadi menegaskan pelepasan kawasan hutan tersebut bukan izin kebun sawit, melainkan murni bagian dari penataan ruang Provinsi Riau.

Hal itu tertuang jelas dalam SK Menhut 673/Menhut-II/2014 dan SK 878/Menhut-II/2014, yang ditandatangani Zulhas pada akhir masa jabatannya.

“Tidak berkaitan dengan izin kebun sawit, hanya untuk tata ruang provinsi,” kata Hadi, Minggu (7/12). 

Namun anehnya, meski pernyataannya tegas, ruang publik tetap gaduh dengan narasi bahwa jutaan hektare tersebut “diberikan ke pengusaha besar”.

Padahal, isi lampiran SK menampilkan cerita berbeda. Wilayah yang dilepas status hutannya diarahkan untuk tiga kebutuhan dasar: pemukiman penduduk, fasilitas sosial dan umum, serta lahan garapan masyarakat. 

Banyak desa, sekolah, rumah ibadah, hingga rumah sakit berdiri di atas lahan berstatus hutan sejak puluhan tahun lalu. Tanpa revisi tata ruang, ribuan warga akan terus dianggap tinggal secara ilegal.

Hadi menjelaskan bahwa revisi tata ruang ini merupakan konsekuensi UU 27/1992 yang mewajibkan seluruh provinsi memperbarui RTRWP. Riau bahkan pernah menetapkan Perda 10/1994 yang mengalokasikan 4,34 juta ha sebagai non-kehutanan. TIMDU, otoritas ilmiah bentukan Menhut, kemudian merekomendasi perubahan kawasan hutan seluas 2,7 juta ha.

Namun Zulhas justru hanya menetapkan 1,6 juta ha atau lebih kecil daripada usulan ilmiah maupun Perda daerah. Artinya, keputusan ini bukan “pembebasan liar”, malah lebih konservatif dari standar yang diajukan berbagai pihak.

Meski data sudah terbuka, publik tetap mengaitkan kebijakan ini dengan sawit. Setiap isu banjir di Sumatra, deforestasi, atau konflik agraria, pelepasan area 1,6 juta ha kembali dipukul rata sebagai sumber masalah. Narasi lama diulang tanpa verifikasi: “pasti buat sawit”.

Padahal, fakta hukumnya tidak menunjukkan satu pun izin korporasi sawit yang lahir dari SK tersebut. Tidak ada pembagian blok perkebunan. Tidak ada klaim baru perusahaan. Yang ada hanya legalisasi ruang untuk masyarakat dan infrastruktur yang sudah berdiri.

Namun seperti biasa, isu kehutanan adalah lahan empuk untuk dibelokkan. Apalagi ketika sawit sudah telanjur jadi musuh bersama. Akhirnya, kebijakan tata ruang yang teknis berubah jadi polemik nasional.***
 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS