Ilustrasi banjir dan longsor di Sumatera. Foto: eranasional.com
Jakarta, myelaeis.com - Menurut Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Prof. Bungaran Saragih, persoalan banjir tak bisa dilihat dengan cara yang sederhana.
“Bencana alam bukan soal sawit atau bukan sawit. Ini persoalan keselamatan manusia, tata kelola lingkungan, dan keberlanjutan ekonomi,” ujar Bungaran, Minggu (21/12).
Sebagaimana diketahui, setiap kali banjir bandang dan longsor datang, satu komoditas nyaris selalu ikut terseret arus perbincangan, yakni kelapa sawit.
Air belum surut, lumpur masih menempel di dinding rumah warga, tapi tudingan sudah lebih dulu meluap. Sawit dituding, disorot, bahkan divonis sebagai biang keladi.
Bungaran menilai, narasi saling menyalahkan justru membuat publik menjauh dari akar masalah yang sebenarnya.
Data menunjukkan, dalam beberapa tahun terakhir frekuensi banjir bandang dan longsor memang meningkat di berbagai daerah.
Dampaknya bukan main. Korban jiwa berjatuhan, kerugian ekonomi membengkak, dan rasa aman masyarakat ikut tergerus. Di saat yang sama, industri sawit kembali menghadapi tekanan reputasi, baik di dalam maupun luar negeri.
Padahal, sawit masih menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Jutaan tenaga kerja bergantung pada sektor ini, dari hulu hingga hilir. Desa-desa hidup dari aktivitas perkebunan, sementara devisa negara ikut ditopang oleh ekspor sawit.
“Tidak banyak sektor yang punya daya ungkit ekonomi sebesar ini,” kata Bungaran.
Menurutnya, perdebatan sawit vs banjir sering kali berjalan di ruang hampa data. Ada pihak yang menuding sawit sebagai penyebab tunggal banjir, ada pula yang menolak mentah-mentah kemungkinan adanya keterkaitan. Keduanya sama-sama bermasalah jika tidak didukung bukti ilmiah.
Yang dibutuhkan, lanjut Bungaran, adalah data spasial dan hidrologis yang kuat, analisis independen, serta pemetaan risiko yang terbuka. Tanpa itu, pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat akan terus berdebat dengan asumsi masing-masing, tanpa titik temu.
Soal tata kelola lahan juga tak bisa diabaikan. Risiko banjir tak semata ditentukan oleh jenis tanaman, tetapi oleh cara lahan dikelola.
Apakah kawasan lindung dan sempadan sungai benar-benar dijaga? Apakah daerah resapan air di hulu DAS masih berfungsi? Atau justru rusak oleh praktik pembukaan lahan yang abai terhadap struktur tanah dan sistem drainase?
Di sinilah pentingnya sinkronisasi kebijakan. Penataan ruang, perizinan, penegakan hukum, hingga standar keberlanjutan harus berjalan seirama. Tidak setengah-setengah, apalagi tebang pilih.
Bungaran juga menekankan pentingnya kolaborasi multipihak. Pemerintah dituntut hadir dengan regulasi tegas dan pengawasan konsisten.
Pelaku usaha wajib menjalankan praktik budidaya yang bertanggung jawab. Akademisi, masyarakat sipil, dan media punya peran strategis mengawal diskursus agar tetap berbasis data, bukan emosi.
“Sawit tidak seharusnya dijadikan kambing hitam bencana,” tegasnya. Dengan tata kelola yang transparan dan berkelanjutan, sawit justru bisa menjadi bagian dari solusi pengurangan risiko bencana.
Lingkaran saling menyalahkan mungkin mudah dibentuk, tapi sulit memecahkan masalah. Selama debat masih berkutat pada siapa yang salah, bukan apa yang harus dibenahi, banjir akan terus datang dan sawit akan terus jadi sasaran."**






