https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

Alih Fungsi Lahan yang Tak Terkendali Pasca Reformasi Jadi Penyebab Utama Tingginya Dampak Bencana

Alih Fungsi Lahan yang Tak Terkendali Pasca Reformasi Jadi Penyebab Utama Tingginya Dampak Bencana

Diskusi publik. Foto; Ist

Jakarta, myelaeis.com - Dalam diskusi publik bertajuk “Quo Vadis Konstitusi dan Krisis Ekologi: Belajar dari Bencana Hidrometeorologis Sumatera”, para akademisi dan pemerhati lingkungan menilai alih fungsi lahan yang tak terkendali pasca reformasi menjadi penyebab utama tingginya dampak bencana.

Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto, menyebut bencana di Sumatera sebagai persoalan klasik yang berulang. Menurutnya, sejak era reformasi, pengendalian tata ruang melemah drastis. 

“Pada masa Orde Baru, zonasi kawasan sangat ketat. Hutan, sawah abadi, dan daerah resapan air tidak bisa diubah seenaknya. Pasca reformasi, pengawasan itu bablas,” ujar Rasminto.

Ia menyoroti masifnya alih fungsi hutan menjadi kawasan industri, perkebunan, dan permukiman. Data menunjukkan sekitar 1,4 juta hektare hutan di Sumatera hilang akibat aktivitas industri dan kemudahan perizinan. Kondisi ini menyebabkan hilangnya fungsi hidrologis hutan sebagai penyangga air.

Dampaknya terlihat jelas saat hujan ekstrem melanda akhir November. Banjir bandang dan longsor terjadi di banyak wilayah, bahkan disertai hanyutan kayu gelondongan yang menghancurkan pemukiman warga. 

Berdasarkan data terbaru, 1.112 orang meninggal dunia, 176 orang masih dinyatakan hilang, dan ratusan ribu warga terpaksa mengungsi. Kerugian ekonomi akibat bencana tersebut ditaksir mencapai lebih dari Rp54 triliun.

Diskusi tersebut juga menyinggung fenomena serupa di luar Sumatera, seperti kasus alih fungsi sungai di kawasan pesisir Tangerang pada awal 2025. 

Sejumlah sungai di enam kecamatan dan belasan desa berubah fungsi, memperparah risiko banjir rob dan genangan. Hal ini dinilai menunjukkan persoalan struktural dalam tata kelola ruang nasional.

Selain dampak ekologis, bencana juga memicu persoalan sosial dan politik. Di Aceh, muncul isu lambannya penanganan darurat yang memicu keresahan masyarakat dan viral di media sosial. 

“Bencana tidak hanya soal korban dan kerusakan fisik, tetapi juga berpotensi menimbulkan ketegangan sosial dan politik,” ujar Rasminto.

Dalam forum tersebut, pemerintah juga diapresiasi atas langkah pencabutan izin usaha pemanfaatan hutan (PBPH). Pada awal pemerintahan Presiden Prabowo, Kementerian Kehutanan telah mencabut izin PBPH seluas hampir 750 ribu hektare, serta 18 izin lain dengan luas lebih dari 500 ribu hektare sejak Februari 2025. Langkah ini dinilai sebagai upaya korektif yang penting.

Namun, Rasminto menegaskan pencabutan izin saja tidak cukup. Ia menyoroti amanat Pasal 28H dan Pasal 33 UUD 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

“Pertanyaannya, sejauh mana konstitusi benar-benar dijalankan dalam praktik, terutama di wilayah rawan bencana,” katanya.

Diskusi menutup dengan kesimpulan bahwa tanpa pembenahan serius tata ruang dan penegakan hukum lingkungan, bencana serupa akan terus berulang. 

Sumatera, kata para pembicara, telah membayar terlalu mahal akibat pembangunan yang mengorbankan keseimbangan ekologis.***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS