Berita >
Said Didu: Negara Menunjukkan Ketegasan Berlebih terhadap Sawit
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu. Foto: kumparan.com
Jakarta, myelaeis com – Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu menilai negara menunjukkan ketegasan berlebih terhadap sawit, namun justru bersikap longgar terhadap tambang yang sama-sama bermasalah secara hukum.
Melalui pernyataan yang ia sampaikan di media sosial X, Jumat (26/12), Said Didu menyoroti ketimpangan kebijakan penertiban lahan.
Ia mempertanyakan logika negara yang mengambil alih kebun sawit yang melanggar aturan, tetapi tidak melakukan hal serupa terhadap lahan tambang.
“Penertiban sawit itu diklaim sebagai pengembalian aset ke negara. Tapi penertiban tambang justru terlihat seperti legalisasi pelanggaran hukum,” tulisnya.
Said Didu memaparkan, secara luasan, pelanggaran di sektor sawit dan tambang tidak terpaut jauh. Kebun sawit yang dinilai melanggar aturan diperkirakan mencapai sekitar 5 juta hektare, sementara tambang yang bermasalah berada di kisaran 4,5 juta hektare. Namun, kebijakan negara terhadap dua sektor tersebut dinilai tidak seimbang.
Menurutnya, lahan sawit yang dianggap melanggar langsung ditarik oleh negara, disertai kewajiban membayar denda. Pengelolaannya kemudian dialihkan ke badan usaha milik negara.
Sebaliknya, pada sektor tambang, penertiban dinilai hanya berujung pada pembayaran denda tanpa pengambilalihan lahan oleh negara.
“Dalam praktiknya, sawit diambil negara dan dikelola BUMN. Tambang hanya didenda, tapi lahannya tetap dikuasai pelaku lama,” ujarnya.
Ia menilai pola tersebut berbahaya karena membuka ruang pemutihan pelanggaran hukum. Dengan membayar denda, perusahaan tambang yang sebelumnya melanggar aturan justru mendapatkan legitimasi untuk terus beroperasi.
“Artinya jelas, pelanggaran hukum di sektor tambang bisa selesai hanya dengan uang. Setelah itu, tambang jadi sah, dan kepemilikannya tetap di tangan oligarki dan asing,” kata Said Didu.
Kondisi ini, menurutnya, memperlihatkan ketimpangan serius dalam penegakan hukum sumber daya alam. Negara dinilai keras terhadap sawit yang kerap melibatkan petani dan pelaku usaha nasional, namun lembek saat berhadapan dengan kepentingan besar di sektor pertambangan.
“Kalau begini, penertiban sawit bisa disebut pengembalian ke negara. Tapi penertiban tambang justru penyerahan tambang ke oligarki dan asing secara legal,” tegasnya.
Said Didu juga mempertanyakan faktor di balik perbedaan perlakuan tersebut. Ia menyiratkan adanya kekuatan politik dan elite tertentu yang melindungi sektor tambang dari tindakan tegas negara.
“Apakah karena di balik tambang ada tokoh politik dan para bintang, sehingga akhirnya diberi karpet merah?” ucapnya.
Selain soal ketimpangan kebijakan, Said Didu menilai penertiban tambang yang berjalan saat ini masih jauh dari memadai.
Ia menyoroti keterbatasan kewenangan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang hanya menangani pelanggaran di kawasan hutan.
“Padahal pelanggaran tambang itu tidak hanya terjadi di kawasan hutan. Kalau penertibannya cuma lewat PKH, banyak pelanggaran lain yang lolos,” ujarnya.
Ia mendorong pemerintah untuk memperluas cakupan penertiban tambang, termasuk di luar kawasan hutan, agar penegakan hukum tidak bersifat parsial dan tebang pilih.
Lebih lanjut, Said Didu meminta agar pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, menerapkan standar yang sama antara penertiban sawit dan tambang. Menurutnya, lahan tambang bermasalah seharusnya juga diambil alih negara dan pengelolaannya diserahkan kepada BUMN.
Ia juga meminta Tim PKH yang berada di bawah koordinasi pemerintah pusat agar tidak mengembalikan lahan tambang bermasalah kepada pemilik lama, meskipun telah membayar denda.
“Jangan kembalikan tambang ke oligarki dan asing hanya karena sudah bayar denda. Perlakuannya harus sama dengan sawit: diambil negara dan dikelola BUMN,” ujarnya.
Pernyataan Said Didu tersebut kembali memantik perdebatan soal keadilan dan konsistensi penegakan hukum di sektor sumber daya alam.***






