https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Persona

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Ir. Mukti Sardjono, MSc

Meniti Hidup dengan Merangkul Semua

Meniti Hidup dengan Merangkul Semua

Mukti Sardjono bersama istri, anak, menantu dan cucu. foto: dok. pribadi.

Kepiawaian mengelola birokrasi membuat Mukti Sardjono dipercaya menjadi Direktur Eksekutif GAPKI. Punya segudang pengalaman di Direktorat Jenderal Perkebunan dan Upsus Aceh hingga menjabat staf ahli menteri. Sederet jabatan yang mentereng tetap membawanya bersahaja. 

Wajahnya teduh dan ramah. Nada bicaranya pelan dan teratur. Sesekali melempar senyum ke lawan bicara. Itulah sosok Mukti Sardjono. Lelaki 63 tahun itu dikenal banyak orang sebagai Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), yang sudah malang melintang di dunia perkebunan, khususnya kelapa sawit.

Mukti Sardjono yang karib disapa “Pak Mukti” ini lulusan program studi Agronomi Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1981 dan mengenyam Pendidikan S2 Ekonomi Pertanian di Texas A & M, Amerika Serikat. Hampir sepanjang kariernya di Kementerian Pertanian dihabiskan di dunia perkebunan. Sebelum pensiun, ia sempat menjabat Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan. 

Bagi Mukti, tanaman bernama latin Elaeis guineensis bukan hal yang asing. Pengalamannya sebagai Direktur Tanaman Tahunan Kementerian Pertanian membuatnya mendalami seluk beluk industri emas hijau tersebut. Tugasnya di Kementan kala itu banyak memonitor kebijakan di bidang perencanaan dan pengembangan, perbenihan dan sarana produksi, budidaya serta pengelelolaan administasi dan SDM perkebunan.

Karier di birokrasi diawali Mukti sejak 1982, tepat setahun setelah lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia tak butuh waktu lama untuk menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), Kementerian Pertanian. Selama bertugas di sana, ia menempuh berbagai penugasan. Mulai dari perencanaan dan pengembangan perkebunan, kerja sama komoditas, tatalaksana dan organisasi, serta pimpinan proyek diversifikasi pangan dan gizi perkebunan.

Mukti juga pernah bertugas menjadi penanggung jawab program revitalisasi perkebunan. Ia rutin menghadiri berbagai event baik di dalam negeri maupun internasional terkait komoditas perkebunan. “Bagi saya tugas adalah amanah. Untuk itu semua tugas yang diberikan pimpinan harus diseriusi,” ujar Mukti ketika berbincang santai dengan ELAEIS, akhir September lalu. 

Mukti Sardjono lahir di Slawi, Jawa Tengah pada 25 Juni 1958. Ia anak ketiga dari 5 bersaudara. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan bakat cerdas. Selalu menempati peringkat lima terbaik dari jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). 

 

Selain menonjol di bidang akademis, Mukti muda juga piawai berolahraga. Terbukti ia kerap jadi wakil sekolah (SMP dan SMA) hingga kampus (UGM) untuk cabang olahraga Bulutangkis. “Alhamdulillah, kami berasal dari keluarga pecinta bulutangkis,” ujarnya.

Mukti mengaku tak kepikiran bisa menjadi ahli pertanian. Cita-citanya justru menjadi sejarawan. Ia bercerita, sejak kecil kerap bertandang ke museum ketika harus menemani orangtua dan saudara. Mukti takjub dengan kemegahan Candi Borobudur dan Prambanan. “Ada rasa kebanggaan kepada nenek moyang, bahwa ternyata mereka mempunyai talenta, ilmu pengetahuan dan pemikiran yang luar biasa,” katanya.

Nasib berkata lain. Pada 1977, ia lulus test masuk dan diterima di UGM yang kala itu menggunakan sistem penerimaan mahasiswa baru tingkat nasional yang dikenal SKALU (Sekretariat Kerja Sama Antar Lima Universitas). Sebagai siswa mata jurusan IPA, ia menjatuhkan pilihan pada jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian UGM.

“Saat mendaftar saya memilih dua fakultas. Pilihan saya sebagai orang kampung dari Slawi, Tegal jatuhnya ke Pertanian sebagai pilihan pertama, dan ternyata diterima,” ucapnya semringah. Singkat cerita, ia lulus dari S1 tahun 1981 dan melanjutkan studi S2 di Texas A & M University, Amerika Serikat. Di S1 Fakultas Pertanian UGM, ia termasuk mahasiswa pertama yang lulus dari Angkatan 1977.

Sukses menapak karier birokrasi, Mukti punya filosofi hidup sendiri. Ia memegang teguh prinsip berkawan dengan semua orang. Meski sudah jadi pejabat eselon, ia mengaku terbiasa makan di pedagang kaki lima (PKL), bersepeda dengan tetangga, hingga “kelas” main golf dengan pejabat.

“Saya selalu berusaha untuk tidak membedakan apakah bawahan, teman kerja maupun atasan. Prinsip hidup saya adalah semua manusia diciptakan oleh Allah SWT pasti mempunyai kelebihan, betapapun kecilnya,” katanya.

 

Keberhasilan meniti hidup didapatnya dari orangtua. Mukti mengaku menimba pelajaran hidup dari sang ayah, Samad Ambari. Di matanya, Ambari adalah sosok pekerja keras dan penuh bakti kepada keluarga. “Beliau pernah sangat sukses dalam bisnis minyak tanah dan sembako, tiba-tiba harus jatuh bangkrut. Namun, beliau dengan dukungan almarhum ibu saya (Ani Maryati) tidak pernah menyerah”.

Mukti menyebut, istrinya Sri Puratmi sangat mendukung profesinya. Bekerja sebagai birokrat di bidang perkebunan membuatnya kerap ke lapangan. Lembur dan pulang malam sudah jadi rutinitas yang tak terelakkan. “Saat ditugaskan dinas ke luar kota, istri dapat memahami. Kadang-kadang kalau memungkinkan dan dana tersedia, saya ajak juga istri menikmati perjalanan ke luar kota,” katanya.

Lelahnya terbayar kala sang istri memasak makanan kesukaannya. Mukti menyebut, sikap saling percaya menumbuhkan kemesraan sendiri dalam bahtera perkawinan yang ia jalin. “Soal makanan istri tahu persis, biasanya kalau pulang dari luar kota, istri sudah menyediakan sambal cobek dengan ikan dan terung goreng,” ucapnya dengan senyum simpul.

Kebahagiaan Mukti Sardjono lengkap sudah dengan kesuksesan tiga anaknya, dan kehadiran enam orang cucu. Ketiga anak Mukti berhasil merengkuh gelar sarjana, S1 dan S2. Bahkan dua di antaranya mengikuti jejaknya sebagai birokrat. Ia memberikan pesan kepada anak-anaknya agar menjadi sosok Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bersih. “Jadilah birokrat yang ikhlas, jujur, serius dan selalu ingat kepada Allah,” begitu ucap Mukti kepada anak-anaknya.
 

Upsus Aceh

Hal yang paling berkesan bagi Mukti Sardjono sepanjang kariernya adalah didapuk menjadi penanggung Upaya Khusus (Upsus) Padi Jagung Kedelai (Pajale) di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tanggung jawabnya merancang program khusus untuk swasembada pangan berkelanjutan di Aceh. Bagaimana tidak berkesan, sepanjang karir di PNS selalu berkaitan dengan tanaman perkebunan, kemudian mendapat amanah untuk mengurusi tanaman pangan. 

 

Penugasan sebagai Upsus Pajale di Aceh didapatinya saat menjabat Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan. Sebelumnya, Mukti berpengalaman menjadi penanggung jawab Upsus Pajale di sejumlah wilayah seperti Kalimantan Selatan, Riau, dan Sumatera Selatan. Selama bertugas di Aceh, ia bisa tinggal di Aceh dua pekan dalam satu bulan. Tujuannya, mengawal perkembangan penanaman Pajale di provinsi Serambi Mekkah tersebut. Lebih dari separuh waktunya kala itu dihabiskan di Aceh.

Selama dinas hampir dua tahun di Aceh, Mukti mengaku menjajal hampir semua pelosok Aceh. Mulai dari Pantai Timur Aceh, Perbukitan Aceh Tengah, Pantai Barat Aceh sampai Pulau Siemeleu di Samudera Hindia. “Interaksi dengan eks kombatan (Gerakan Aceh Merdeka/GAM) juga sangat sering dengan bertukar pikiran dan tentunya sambil ngopi khas Aceh,” tutur Mukti.

Di Aceh juga dirinya mendapatkan pengalaman berharga yang selama ini jarang didapat. “Penugasan di NAD adalah berkah bagi saya. Karena, bisa mengenal lebih dalam saudara-saudara di Aceh yang sangat ramah dan bersahabat dan tentunya bisa menikmati tradisi, budaya, makanan dan keindahan alam Aceh,” katanya.

Keberhasilan Upsus Pajale di Aceh menurutnya dicapai berkat koordinasi yang baik dengan pejabat dinas pertanian, Tentara Nasional Indonesia (TNI), serta jajaran terkait di tingkat kabupaten dan provinsi. “Alhamdulillah, kerja keras dengan teman-teman pejuang Upsus Aceh, areal tanam dan produksi padi dan jagung di Aceh terus meningkat dan surplus untuk dipasarkan ke Sumatera Utara,” Mukti menjelaskan.

Hal yang paling berkesan dalam tugasnya di Aceh ketika ditugasi menjadi koordinator penggantian tanaman ganja yang endemik di Aceh, khususnya di Aceh Besar, Gayo Luwes, dengan tanaman pertanian berekonomi tinggi. Dari sana, ia mengenal sosok Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Budi Waseso yang kala itu menjabat Kepala Badan Narkotika Nasional Indonesia (BNN).

Perjuangan heroik pun dimulai. Mukti mulai menjajal gunung dan bukit dalam misi budidaya tanaman bersama BNN. “Dengan medan berbukit dan prasarana jalan yang terbatas, penanggulangan penanaman ganja di Aceh menjadi tantangan yang tidak mudah. Apalagi ada rumor makanan Aceh kurang sedap, kalau belum ada bagian yang satu itu,” ucapnya tertawa.
 
Karier di GAPKI

Mukti ditunjuk sebagai Direktur Eksekutif GAPKI sejak awal Juli 2018. Ia membuka lebar-lebar paradigma banyak orang tentang “si buah emas”. Tingginya kampanye hitam akan sawit membuat dirinya berjibaku menangkis serangan. “Sawit adalah anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia, karena terbukti industri sawit telah mampu bertahan di saat krisis maupun pandemi,” ujar Mukti.

Karena itu, ia berupaya agar pemerintah membangun regulasi yang memproteksi tumbuhan tropis yang berasal dari Mauritius, Afrika itu. Meski demikian, ia tak sungkan mengingatkan pelaku industri untuk membangun bisnis yang sesuai standar global dan ekonomi berkelanjutan. “Semua   pelaku   sawit   harus   membuktikan   bahwa   industri   sawit   yang dikembangkan sudah mengikuti kaidah-kaidah sustainability (keberlanjutan), dan ini harus dibuktikan baik di dalam maupun luar negeri,” katanya.

 

Tingginya kampanye negatif tentang sawit harus diatasi dengan meningkatkan pengetahuan dan literasi masyarakat akan sawit. “Sebagai anugerah Tuhan, keberadaan industri sawit harus dijaga oleh semua bangsa Indonesia, bukan saling memberikan berita negatif,” sambungnya.

Keunggulan minyak sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya telah menyebabkan beberapa produsen minyak nabati, rapeseed dan bunga matahari di Eropa tersaingi. Di sisi lain, impor minyak sawit untuk berbagai keperluan di negara-negara Eropa semakin meningkat, sehingga menekan penggunaan komoditas minyak rapeseed dan bunga matahari.

“Kondisi tersebut telah mendorong produsen minyak nabati Eropa untuk melakukan perlawanan terhadap ekspansi minyak kelapa sawit,” katanya. Berbagai kampanye miring tentang sawit terus bergulir. Isu yang diembuskan, yakni masalah terpinggirkannya masyarakat lokal, perusakan hutan, terbunuhnya orang hutan, emisi dan lain-lain.

Melihat gencarnya tekanan terhadap industri kelapa sawit, pemerintah tak tinggal diam. Mukti mengisahkan, bagaimana perjuangan mempertahankan ekosistem sawit pada 2008-2010 saat Menteri Pertanian kala itu dijabat Anton Apriyantono. Beberapa diskusi tentang sustainability kelapa sawit mulai digelar. 

Saat itu, beberapa pakar aktif melakukan diskusi tentang sawit. Di antaranya Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian yang saat itu dijabat Achmad Mangga Barani; Sekretaris Jenderal GAPKI Joko Supriyono; Ketua Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI) Rosdiana Soeharto, dan lain-lain.

Mukti mengatakan, serangkaian pertemuan kala itu menghasilkan ide brilian. Wakil pemerintah dan asosiasi menyadari pentingnya Indonesia memiliki sistem sertifikasi kelapa sawit berdasarkan peraturan perundangan, yang tidak didikte negara atau pihak lain. “Lewat diskusi panjang akhirnya disepakati Indonesia harus punya sistem sertifikasi kelapa sawit yang sifatnya mandatory, yaitu ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dalam bentuk Peraturan Menteri Pertanian,” katanya.

Mukti yang punya pengalaman panjang di birokrasi mengaku tak canggung berinteraksi dengan GAPKI. Bahkan, ia merasa mantap “menceburkan” diri ke asosiasi perkebunan itu. Menurutnya, GAPKI mendukung pemerintah dalam kebijakan maupun peraturan perundangan terkait industri kelapa sawit. “Selama menjadi birokrat, sudah lama berinteraksi dengan GAPKI. GAPKI sebagai asosiasi pengusaha perkebunan kelapa sawit merupakan mitra pemerintah, sayangnya belum semua pengusaha kelapa sawit menjadi anggota GAPKI,” pungkasnya. 


Naskah ini telah pernah terbit di elaeismagazine edisi September 2021.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkait