"Pada satu sisi, mitigasi masih dapat dijadikan cara melawan krisis iklim."
EKSEKUTIF Nasional (Eknas) Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengapresiasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global.
Eknas Walhi bilang ini adalah fatwa kelima MUI Pusat terkait persoalan lingkungan hidup sejak satu dekade terakhir.
Perlu diketahui, Walhi adalah sebuah organisasi nonpemerintah atau non government organization (ornop/NGO) nasional yang khusus bergerak dalam bidang lingkungan sejak era rezim Orde Baru (Orba).
Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan fatwa terkait dengan hukum pembakaran hutan dan lahan (karhutla) serta pengendaliannya, fatwa tentang pertambangan ramah lingkungan.
Dalam keterangan resmi yang dikutip, Rabu (17/4), Walhi yakin Fatwa 86/2023 itu adalah yang pertama di Indonesia dan dunia yang mengulas isu krisis iklim.
"Setelah ini semoga krisis iklim akan semakin luas dibahas dan dikaji oleh lembaga-lembaga keagamaan yang otoritatif di Indonesia," demikian kata pihak Walhi.
Meski demikian, Walhi memiliki sejumlah catatan kritis terhadap fatwa itu, baik terkait penggunaan sejumlah istilah sampai ketiadaan penjelasan sejumlah faktor yang dimaksud dalam fatwa tersebut.
Untuk istilah pengendalian perubahan iklim global, misalnya, Walhi menegaskan bahwa masyarakat Indonesia justru menjadi korban dari aktivitas industri global di berbagai bidang, seperti di bidang minyak, gas, batu bara, serta semen.
"Bagaimana mungkin masyarakat yang menjadi korban harus bekerja mengendalikan krisis iklim," sindir Walhi dalam pernyataan resminya.
Ornop ini juga mengkritik karena MUI dalam fatwanya itu tidak menyebutkan lebih jelas faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, serta sistem kepercayaan, sikap dan persepsi sosial semacam apa yang menyebabkan krisis iklim saat ini.
"Sebagaimana biasanya, Fatwa MUI selalu mengutip ayat-ayat, hadits-hadits, dan perkataan ulama dalam kitab-kitab terdahulu atau turats," tulis Walhi.
"Tetapi tidak ada penjelasan mengenai relevansi dan signifikansi ayat, hadits, serta perkataan ulama dalam situasi krisis saat ini. Akhirnya ayat, hadits, serta perkataan ulama itu hanya menjadi “pajangan” dalam fatwa," kata pihak Walhi.
Walhi juga mengkritik soal Di pengendalian krisis iklim, yaitu mitigasi dan adaptasi, yang ada dalam fatwa itu.
Kata Walhi, MUI melupakan satu hal penting yang telah dibicarakan dalam COP 27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada akhir 2022 lalu, yaitu loss and damage fund.
Loss and damage fund adalah mekanisme yang didorong oleh gerakan lingkungan hidup global untuk meminta pertanggungjawaban korporasi yang menjadi produsen emisi serta mendapatkan keuntungan dari mengekstraksi sumber daya alam.
"Pada satu sisi, mitigasi masih dapat dijadikan cara melawan krisis iklim. Tetapi adaptasi semakin tidak relevan," kata pihak Walhi.
Sebagai contoh, bagaimana masyarakat pesisir yang desa atau pulau kecilnya tenggelam harus beradaptasi sementara rumah dan ruang hidupnya telah hilang tenggelam?
"Dengan demikian, fatwa ini tidak mempertimbangkan konsensus internasional, terutama soal loss and damage fund," sebut pihak Walhi.
Walhi juga mengkritik makna transisi energi menuju sistem energi bersih nir karbon dalam fatwa tersebut yang sehatusnya dimaknai meluas.
Hal itu, kata pihak Walhi, mencakup upaya pengurangan drastis pada keseluruhan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada krisis iklim.
"Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh UNFCCC yaitu Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitro Oksida (N2O), Hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs) dan Sulfur hexafluoride (SF6)," tulis pihak Walhi.
Soal ajakan untuk mengurangi jejak karbon kepada semua pihak, Walhi mengkritik fatwa itu terlihat sangat tidak adil, terutama kepada rakyat kecil.
"Karena hanya orang-orang yang memiliki kekayaan besar lah yang paling banyak menghasilkan jejak karbon," tulis Walhi.
"Orang-orang kaya itu bisa memiliki konsesi sawit dan atau tambang di hutan dan atau laut dengan luasan yang sangat besar serta masa waktu yang sangat panjang," ungkap pihak Walhi lebih lanjut.
Kritik Walhi tidak cukip sampai di situ. Fatwa MUI itu dilihat Walhi tidak menyinggung soal ketimpangan penguasaan sumber daya alam (SDA) yang ada di Indonesia.
Selain itu, Walhi melihat di dalam rekomendasi kepada pemerintah pusat, MUI tidak memasukan poin yang bisa mendesak pemerintah pusat.
Khususnya untuk mengevaluasi seluruh peraturan perundangan yang memperburuk dan memperparah dampak krisis iklim bagi masyarakat.
"Di antara peraturan perundangan yang dapat disebut adalah UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU IKN," tulis Walhi.
"MUI hanya mendorong pemerintah pusat untuk melakukan percepatan dalam pembentukan regulasi yang berkaitan langsung dengan krisis iklim," Walhi menambahkan.
Walhi juga mengkritik MUI yang tidak memasulan poin yang mendesak parlemen untuk mengevaluasi seluruh peraturan perundangan yang memperburuk dan memperparah dampak krisis iklim bagi Masyarakat.