"Pemerintah harus lebih proaktif dalam menjaga stabilitas harga CPO."
PARA petani kelapa sawit di Provinsi Bengkulu terus mengeluhkan kondisi harga minyak sawit alias Crude Palm Oil (CPO) yang melempem disaat nilai dolar Amerika Serikat mengalami penguatan terhadap rupiah.
Iskandar Maun, seorang petani kelapa sawit setempat, mengaku menghadapi kesulitan besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena pendapatan yang turun secara drastis imbas penurunan pendapatan dari sawit.
Dalam menghadapi tantangan ini, para petani dan pemangku kepentingan terus berharap agar pemerintah dapat memberikan solusi yang tepat guna untuk mengatasi masalah ini. "Kami butuh kebijakan yang mendukung para petani agar dapat bertahan dalam situasi sulit ini," ujarnya.
Penurunan harga CPO di daerah itu tidak hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga menyulitkan keberlanjutan usaha mereka.
"Kami menghadapi kesulitan besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena pendapatan kami menurun drastis," ungkap Iskandar Maun, seorang petani sawit setempat.
Dalam menghadapi tantangan ini, para petani dan pemangku kepentingan terus berharap agar pemerintah dapat memberikan solusi yang tepat guna untuk mengatasi masalah ini. "Kami butuh kebijakan yang mendukung para petani agar dapat bertahan dalam situasi sulit ini," pungkasnya.
Salah satu petani sawit di Bengkulu, Buyung Herly mengungkapkan, kebingungannya terhadap fenomena ini. Menurutnya, penurunan harga CPO terjadi saat dolar Amerika Serikat menguat.
"Saya dulu dengar harga CPO mengikuti kurs dolar AS, tapi kok malah turun saat dolar naik?" tanya Buyung, Minggu (21/4).
Menurut data terbaru, harga CPO di Bengkulu saat ini mencapai Rp 12.368 per kilogram, mengalami penurunan signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai Rp 12.465 per kilogram. Hal itu tentu saja semakin memperparah keadaan para petani, yang merasa tercekik oleh penurunan harga TBS kelapa sawit.
"Harga CPO itu kalau turun harga TBS kelapa sawit ikut turun tentu saja ini memperparah kondisi kami," tuturnya.
Dalam konteks ini, beberapa pihak menyatakan keprihatinan mereka terhadap kondisi pasar CPO yang tidak stabil.
Dr. Ali Firmansyah, seorang ahli ekonomi pertanian di Bengkulu, menyoroti pentingnya stabilitas harga bagi keberlanjutan industri sawit.
"Ketidakpastian harga CPO dapat merugikan petani serta mengganggu stabilitas ekonomi daerah," ujar Ali.
Kritik juga disampaikan terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani fluktuasi harga CPO. Menurut seorang aktivis petani, Hari Patono, pemerintah harus mampu menjaga stabilitas harga CPO. Lebih lagi saat ini Indonesia sudah memiliki bursa CPO.
"Pemerintah harus lebih proaktif dalam menjaga stabilitas harga CPO, bukan hanya bergantung pada faktor eksternal seperti nilai tukar dolar, lalu apa itu gunanya bursa CPO," tambah Hari.
Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa penurunan harga CPO merupakan dampak dari berbagai faktor, termasuk peningkatan produksi global dan penurunan permintaan pasar. Hal ini menggarisbawahi kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh industri sawit dalam menghadapi dinamika pasar global.