https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Petani

Ramai-ramai Alih Fungsi Lahan ke Sawit, Petani di Kawasan Ini Cemaskan Akses Jalan

Ramai-ramai Alih Fungsi Lahan ke Sawit, Petani di Kawasan Ini Cemaskan Akses Jalan

Kebun sawit rakyat di Desa Sibio-Bio, Kecamatan Dolok. Foto: Istimewa

"Sebagian kebun sawit masyarat sudah produksi, umurnya sekitar umur 5-7 tahun."

KETIKA suatu jenis komoditas perkebunan sudah ditanam bahkan hampir berproduksi, apa yang akan terjadi kalau tidak didukung akses jalan yang memadai untuk menjual hasil bumi itu?

Inilah yang dialami oleh masyarakat 13  dari 86 desa yang ada di Kecamatan Dolok, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) Provinsi Sumatera Utara (Sumut).

Petani yang dulunya menanam kopi dan kulit manis serta beberapa jenis komoditi perkebunan lainnya juga melakukan hal yang sama, yaitu alih komoditss ke sawit.

Masyarakat setempat menilai sawit lebih menjanjikan secara ekonomi ketimbang tanaman lain. Penghasilan dari karet, misalnya, sudah terbukti beberapa tahun terakhir semakin merosot karena harga getah cukup murah.

Asnan Rambe, warga Desa Sibio-Bio, Kecamatan Dolok misalnya, adalah salah satu petani yang mengkonversi kebun karet seluas 4,6 hektar menjadi kebun sawit. 

"Saya dan masyarakat lainnya di desa ini memutuskan beralih untuk berkebun sawit. Bahkan lahan karet yang selama ini menjadi penopang ekonomi sudah kami ratakan. Memang dari luas lahan yang dimiliki masyarakat tidak terlalu luas, tapi itu kami yakini bisa memperbaiki perekonomian kami kelak," katanya, Senin (22/4) lalu.

Menurutnya, satu-satunya kekhawatiran masyarakat saat ini adalah terkait kerusakan jalan. Kondisi ini dikhawatirkan akan mempengaruhi harga TBS sawit.

Menurutnya, masyarakat sudah lama mengeluhkan akses jalan yang tidak kunjung diperbaiki oleh pemerintah. Bahkan ruas jalan lintas antar provinsi di daerah tersebut bertahun-tahun dibiarkan rusak.

"Tapi kami tidak sedikitpun ragu untuk berkebun sawit, meskipun infrastruktur jalan kami buruk. Kami berharap suatu saat nanti pemerintah membuka mata untuk membangun jalan buat kami yang menghubungkan antar desa bahkan kabupaten ini," harapnya.

"Selama ini memang inilah yang menjadi kendala, kami hendak menjual hasil pertanian, harganya jauh di bawah kewajaran. Ya akibat infrastruktur tadi, lebih besar untuk perongkosan," jelasnya.

Menurutnya, konversi kebun di daerah itu sebenarnya bukan fenomena baru. Sebab sudah ada yang melakukannya sekitar 7 tahun lalu.

"Sebagian kebun sawit masyarat sudah produksi, umurnya sekitar umur 5-7 tahun. Nah, yang inilah yang sudah merasakan persoalan besar mengenai angkutan tadi. Satu-satunya alat transportasi sawit hanya menggunakan kendaraan roda empat dengan jarak tempuh 18 kilometer menuju ibukota kecamatan," ungkapnya.

"Jarak tempuh dari desa kami ke ibukota kecamatan membutuhkan waktu 2-3 jam, tergantung cuaca. Begitulah saking parahnya jalan tersebut. Wajar saja apapun hasil pertanian masyarakat akan habis termakan ongkos tadi. Kemarin ada yang menjual sawitnya dengan harga Rp 1,000/kg. Kalau di ibukota kecamatan bisa mencapai Rp 1.700-Rp 1.800/kg," sambungnya.

Menurutnya, di beberapa desa lain yang kondisi jalannya bagus, harga TBS sawit bisa mencapai Rp 2.400 sampai Rp 2.600/kg. " Ini bukti nyata ruginya kami masyarakat di 13 desa ini. Padahal hanya 18 kilometer jaraknya, tapi tidak pernah tersentuh pembangunan," kritiknya.

Dia berharap, infrastruktur jalan tersebut secepatnya diperbaiki oleh pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi. Sebab, satu-satunya harapan masyarakat untuk mendongkrak harga sawit hanyalah bagusnya akses jalan tersebut. 

"Jika akses jalan bagus, otomatis hasil pertanian kami akan semakin mahal. Terkhusus komoditi sawit yang kami anggap baru dan sebagian sudah mulai panen, supaya bisa merasakan harga yang lebih baik. Makanya masyarakat sangat berharap pemerintah segera memperbaiki infrastruktur jalan di daerah ini," ucapnya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS