https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Persona

Kisah Irgi Sanjaya Sempat Berkuliah di AKPY: Seperti Bertemu Ruas dengan Buku

Kisah Irgi Sanjaya Sempat Berkuliah di AKPY: Seperti Bertemu Ruas dengan Buku

Irgi Sanjaya. Foto: Dok. Pribadi

"Saya harus beda,"

LAHIR dan besar di tengah keluarga petani sawit, kalau kemudian Irgi Sanjaya mendapat kesempatan memperdalam ilmu tentang perkelapasawitan, "Sepertinya bertemu ruas dengan buku," kata Irgi, mengistilahkan.

Irgi, bujangan berusia hampir 21 tahun itu, memang sudah menyelesaikan pendidikannya di AKPY Yogyakarta pada 2022 lalu. Irgi menimba ilmu di sekolah itu dengan mengambil Jurusan Pemeliharaan Kelapa Sawit.

AKPY alias Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta adalah satu-satunya Akademi Komunitas Perkebunan di Indonesia yang berorientasi pada pengembangan perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit. 

Di sekolah itu, menurut Irgi, selama delapan bulan ia menjalani perkuliahan di dalam kampus, dan tiga bulan lainnya menjalani magang di luar lingkungan kampus.

Sejak beberapa bulan terakhir, Irgi mengimplementasikan ilmunya dengan bekerja di PT Pasang Kayu di Kecamatan Pasang Kayu, Kabupaten Pasang Kayu, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar).

"Asyik, Bang," kata Irgi, mengilustrasikan hari-hari yang ia lalui di tempat kerja, baik di lingkungan perusahaan maupun dengan masyarakat tempatan.

Terutama, menurut Irgi, antara ilmu dan keterampilan yang ia peroleh di lembaga pendidikan formal tersebut nyambung dengan pekerjaan yang ia tekuni di perusahaan itu.

Dipercaya sebagai mandor, Irgi di perusahaan perkebunan kelapa sawit itu dibebani tugas untuk memelihara dan merawat satu afdeling, yang luasnya antara 900 sampai 1.000  kebun kelapa sawit.

Namanya bekerja di perkebunan, hari-hari Irgi hanya dijejali urusan soal kelapa sawit, baik soal pembibitan, pemeliharaan tanaman, pemupukan, pemanenan, dan lainnya.

Karena baru berkarier di perusahaan yang memiliki 11 afdeling kelapa sawit itu, gaji sebesar Rp3,6 juta yang ia terima tiap bulan dirasa Irgi sudah lebih dari cukup.

Karena, menurut Irgi, selain gaji ia juga menerima sejumlah fasilitas lainnya seperti perumahan, kendaraan dan diikutkan dalam program BPJS Ketenagakerjaan.

Yang terlebih bagi Irgi bukan soal gaji, melainkan peluang untuk menerapkan ilmu dan keterampilan yang ia peroleh selama menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal.

"Terasa sekali manfaatnya," ungkap Irgi. Karena sudah memiliki basis keilmuan yang cukup, Irgi mengaku hampir tidak pernah mengalami kesulitan menjalankan semua tugas yang dibebankan perusahaan kepadanya.

Irgi bertambah kerasan lagi karena lingkungan sosial tempat ia bekerja cukup welcome terhadap pendatang, termasuk terhadap para karyawan PT Pasang Kayu yang sebagian besar berasal dari luar kawasan.

Menurut Irgi, jarak perkebunan dengan pemukiman masyarakat tempatan hanya sekitar 3 km. "Di waktu senggang saya sering menyambangi pemukiman penduduk, dan berbaur dengan masyarakat asli."

Satu hal yang ingin dipastikan Irgi, "Saya merasa tidak pernah mendapat penolakan." Bahkan, Irgi mengaku, antara ia dengan masyarakat tempatan seakan tidak ada jarak, seakan sudah kenal dan dekat sejak lama.

Tapi, menurut Irgi, rangkaian kenangan manis di tempat kerja dan hubungan pertemanan yang intens dengan masyarakat tempatan untuk sementara diakhiri oleh Irgi.

"Saya sekarang sedang fokus menyiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S1," ungkapnya. Irgi betencana mengikuti program itu di
Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta, yang sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Perkebunsn (Stiper).
                                   ***
MERUPAKAN anak kedua dari tiga orang bersaudara, Irgi terlahir dari keluarga petani kelapa sawit di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).

"Tempat kami tinggal itu merupakan salah satu sentra sawit di Sumsel," katanya. Karena berasal dari keluarga petani sawit, tak ayal sejak kecil Irgi sudah akrab dengan jenis komoditas perkebunan yang satu ini.

Bertahun-tahun menjalani hari-hari di lingkungan perkebunan sawit, ditambah orangtua menggeluti bidang yang sama; Irgi kemudian sampai pada satu kesimpulan: pada saatnya ia akan menjadikan sawit sebagai harapan masa depannya.

"Tapi saya harus beda," ungkap Irgi, kala itu. Kalau orangtuanya menerapkan cara-cara konvensional dalam mengelola kebun sawit, Irgi ingin dengan cara-cara modern sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan tentang perkelapasawitan.

(Setelah menuntut ilmu di sekolah jurusan perkelapasawitan, untuk kemudian bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang yang sama; Irgi semakin tahu bahwa hasil berkebun secara konvensional dengan modern itu memang berbeda.

Menurut Irgi, kalau berkebun sawit secara konvensional, seperti yang puluhan tahun dipraktekkan orangtuanya, paling banyak mendatangkan hasil 700 kg tandan buah segar (TBS) kelapa sawit per hektar.

Sementara kalau mengelola kebun sawit secara modern, menurut Irgi, setidaknya mendatangkan hasil 1 ton TBS sawit per hektar. "Karena tanaman dilengkapi dengan pupuk, racun pembasmi hama dan lainnya," ungkap Irgi).

Niat Irgi memperdalam ilmu tentang sawit seakan bersambut. Lewat sebuah proses, Irgi kemudian ikut tes masuk AKPY, untuk mendapatkan beasiswa yang didanai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPFPKS) itu.

Beruntung, Irgi dinyatakan lolos, untuk kemudian terbang ke Yogyakarta menjalani perkuliahan di AKPY sampai menyelesaikannya dengan baik. Usai sekolah di Yogyakarta, Irgi mulai berkiprah di bidang perkelapasawitan di Sulbar.
                    
Sejak saat itu, bahkan mungkin jauh sebelum itu, Irgi telah memantapkan tekad untuk menjadikan kelapa sawit sebagai tumpuan hidup dan masa depannya.

"Saya melihat prospeknya cerah," papar Irgi, sambil mengaku ia sering melihat nasib sejumlah keluarga berubah drastis ke arah yang lebih baik setelah mengelola kelapa sawit.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS