https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Persona

Dunia Perkebunan (Sawit) Ternyata Tidak Sangar, Indayani Telah Membuktikannya

Dunia Perkebunan (Sawit) Ternyata Tidak Sangar, Indayani Telah Membuktikannya

Indayani, alumnus AKPY. Foto: Dok. Pribadi

"Tidak adalagi keraguan soal itu."

GAMBARAN banyak orang tentang dunia perkebunan --termasuk sawit-- yang sangar, angker dan tidak familiar, ditampik oleh Indayani. "Saya telah membuktikannya," ungkap perempuan yang akrab dipanggil Inda ini.

Dulu, sebelum terjun jauh di bidang yang satu ini, Inda -- oleh karena rumor dan isu yang diterima-- juga sempat "memelihara" anggapan bahwa perkebunan sawit punya karakter tersendiri, berbeda dengan yang lainnya.

"Terutama lingkungan perkebunan besar yang dikelola oleh perusahaan atau korporasi," sebutnya. Intinya, papar Inda, ini dunia yang tergolong tidak ramah untuk semua kalangan, terutama yang berasal dari luar lingkungannya.

Tapi setelah hampir dua tahun bekerja di PT Sukses Tani Nusasubur (STN) yang berlokasi di Desa Labangka, Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), Inda merasakan sendiri betapa kontradiktif antara realitas yang ia temui dengan gambaran yang ia terima sebelumnya.

"Saya malah merasa kerasan." Saking kerasannya, menurut Inda, setelah hampir dua tahun bekerja di PT STN, ia baru sekali mudik ke kampung halamannya di Provinsi Jambi pada Lebaran Idul Fitri yang baru lalu.

"Kalau tidak kerasan, mungkin sejak dulu saya sudah angkat kaki," tandasnya. "Untuk apa saya memaksakan diri bertahan di sebuah lingkungan yang tidak respek dengan keberadaan saya."

Yang terjadi sebaliknya. "Saya mendapat penerimaan yang menyenangkan, baik oleh para pekerja di lingkungan perusahaan perkebunan kelapa sawit tempat saya bekerja maupun oleh masyarakat tempatan," ungkapnya.

Sebagai perempuan, menurut Inda, ia mendapat perlakuan yang layak. Sementara sebagai pimpinan di salah satu unit kerja di perusahaan itu, Inda juga diperlakukan sesuai dengan proporsinya.

Menyandang status sebagai mandor di anak perusahaan PT Astra Agro Lestari itu, hari-hari Inda menjalani rutinitas yang memang sudah terjadwal, mulai dari usai salat Subuh sampai sore.

Diawali dengan mengikuti apel pagi setiap pukul 06.00 WIB pagi, setelah itu aktivitas Inda mengalir bersama sejumlah pekerja yang menjadi bawahannya -- dengan umur dan latar belakang sosial dan pendidikan yang berbeda-beda.

"Karena disiplin ilmu saya ketika kuliah di Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY) di bidang pembibitan, di perusahaan saya juga mengemban tugas dan tanggung jawab di bidang yang sama," tambahnya.

Apa ada kesulitan? Dalam soal memenej jajarannya, Inda mengaku tidak mengalami kesulitan yang berarti. "Setiap personil di tim saya sudah paham dengan beban tugas masing-masing," terangnya.

Inda pun, kendati berstatus sebagai atasan, terus berupaya menempatkan diri secara pas. "Jangan mentang-mentanglah," katanya membahasakan. "Mereka kan juga manusia."

Yang menjadi masalah, sambung Inda, pada beberapa kasus dalam soal pembibitan kelapa sawit ia menemukan ketidaksesuaian antara ilmu atau teori yang diperoleh di bangku pendidikan dengan realitas yang ditemui di lapangan atau tempat kerja.

Apa arti hal itu bagi Inda? "Saya dituntut untuk belajar lebih banyak lagi." Jalan yang ditempuh Inda untuk itu, selain belajar melalui praktek langsung di tempat bekerja, Inda juga belajar melalui literatur-literatur yang ada.

Inda kemudian sampai pada satu kesimpulan, yaitu semakin jauh dan intens menggeluti bidang perkelapasawitan, "Maka semakin terasa kurangnya ilmu dan pengetahuan kita tentang itu."

Inda bertekad untuk tidak akan pernah berhenti belajar. "Karena saya telah memutuskan kelapa sawit adalah bidang saya, tumpuan masa depan saya," jelasnya. "Tidak adalagi keraguan soal itu."
                       .     .   ***
KENDATI terlahir di tengah keluarga petani kelapa sawit di Desa Tirta Mulya, Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, 20 tahun yang lalu; Inda mengaku tidak ada yang mengarahkannya untuk menekuni bidang kelapa sawit.

Bahkan termasuk kedua orangtuanya, yang telah membesarkan dan menyekolahkan Inda bersama saudara-saudaranya dari hasil kebun sawit, juga tidak pernah mendoktrin Inda untuk mencempungi sawit.

"Kami diberi kebebasan untuk mencari jalan hidup masing-masing," kata anak sulung dari tiga orang bersaudara ini. "Orangtua tinggal memback-up, baik secara moral atau pun pembiayaan," tuturnya.

Kalau kemudian Inda memilih sawit sebagai jalan hidupnya, itu tidak lain karena sejak lahir sampai sekarang hari-harinya hanya dijejali oleh soal sawit dan sawit. Dari miulai bangun tidur sampai tidur, untuk kemudian bangun lagi, yang mendominasi hanya soal sawit.

Tambahan lagi, menurut Inda, ketertarikannya pada sawit semakin bertambah besar karena ia sering melihat dan menyaksikan sendiri betapa banyak keluarga yang perekonomiannya terangkat karena ditopang oleh kelapa sawit.

Inda mencontohkan keluarganya sendiri, yang menggantungkan sumber ekonomi dari kelapa sawit. Menurut Inda, kendati tidak termasuk kategori kaya, keluarganya sangat terbantu dengan adanya kelapa sawit.

"Realitas itu terjadi justru di saat kedua orangtua saya masih menerapkan cara-cara konvensional dalam mengelola kebun sawit,"  katanya. "Tentu hasilnya akan beda kalau dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan."

"Maklum, orangtua saya hanya petani kelapa sawit biasa, tidak menjadi bagian atau plasma dari korporasi yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit," terang Inda.
                                ***
PUNYA keinginan besar mendalami perkelapasawitan, kalau Inda "terdampar" untuk kemudian menuntut ilmu di AKPY Yogyauarta --yang notabene jauh dari kampung halamannya-- diakui Inda bukan sesuatu yang sengaja dan direncanakan.

"Berawal dari coba-coba," katanya, mengenang. Dikisahkan Inda, semua itu bermula saat ia dikirimi temannya link beasiswa di AKPY yang didanai oleh Badan Penyelenggara Dans Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

"Tidak ada salahnya dicoba," kata hati Inda kala itu. Beruntung, dari semua tahapan seleksi --tertulis dan wawancara-- berhasil ia lalui dengan baik, untuk kemudian Inda dinyatakan diterima di AKPY.

Setelah dinyatakan lulus, Inda tidak langsung diterbangkan ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu di AKPY. Karena pandemi Covid-19 waktu itu, cukup lama juga Inda menjalani belajar secara online.

Baru pada Agustus 2021, bersama sejumlah orang lainnya dari Provinsi Jambi, Inda diberangkatkan ke Jakarta dari Bandara  Sultan Thaha di Jambi. Dari Jakarta, Inda cs kemudian diberangkatkan ke Yogyakarta.

Selama berkuliah di AKPY Yogyakarta, sebagian besar atau sekitar sembilan bulan dijalani Inda dengan mengikuti materi tentang teori di lingkungan kampus, dan tiga bulan lainnya menjalani magang di perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Di AKPY, Inda memiilih Jurusan Pembibitan. "Suka aja," terang Inda, saat ditanya alasannya memilih Jurusan Pembibitan.

Pengetahuan Inda yang sebelumnya sangat dangkal di bidang sawit, setelah berkuliah di AKPY  semakin terbuka luas. Baik pengetahuan yang bersifat teknis maupun non-teknis. "Untuk bekal awal, lumayanlah," katanya.

Proses magang dijalani Inda di perusahaan tempat ia bekerja sekarang selama sekitar tiga bulan. Di perusahaan itu pula Inda mengaplikasikan ilmunya dengan mencatatkan diri sebagai karyawan. ***

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS