https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Petani

TBS Petani

Balapan Harga di Atas Kertas

Balapan Harga di Atas Kertas

Seorang warga sedang mengeluarkan TBS dari mobil puck up di salah satu pabrik. foto: aziz

Dua periode terakhir, harga penetapan TBS petani swadaya dan plasma di Riau, terus balapan. Meski tak akan terealisasi di lapangan, petani tetap butuh.  

Sampai minggu depan, petani swadaya di Riau, akan lebih sumringah ketimbang petani plasma. Soalnya kemarin, dalam penetapan harga di Dinas Perkebunan Riau di kawasan jalan Cut Nyak Dien Pekanbaru, harga Tandan Buah Segar (TBS) petani swadaya dibanderol lebih tinggi 10 rupiah ketimbang harga TBS petani plasma. 

Uniknya, harga yang berlaku 7-13 Februari 2024 ini, banderol TBS petani swadaya lebih tinggi pada semua umur. 

Tapi yang tertinggi dari semua umur itu adalah yang 9 tahun. Kalau harga TBS petani swadaya dibanderol Rp2665,93 per kilogram, harga TBS petani plasma justru Rp2655,83 per kilogram. 

Besaran 10 rupiah itu sangat berarti bagi petani. Sebab jika hasil panen yang dijual saja mencapai 10 ton, sudah Rp100 ribu selisihnya dari yang diterima petani plasma. 

Tapi tunggu dulu, komposisi dua macam harga ini sebenarnya melorot ketimbang harga periode lalu. Di periode lalu, harga TBS plasma masih dibanderol Rp2.743,34 per kilogram dan harga TBS petani swadaya Rp2.725,97 per kilogram. 

Kabid Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Disbun Riau, Defris Hatmaja merinci, ada sederet penyebab yang membikin harga TBS petani swadaya itu lebih tinggi. 

Pertama adalah, harga jual rata-rata Crude Palm  Oil (CPO) perusahaan mitra swadaya Rp12.006 per kilogram, sementara harga jual CPO perusahaan mitra plasma hanya Rp11.696,59 per kilogram. 

"Indeks K perusahaan mitra swadaya 91,12 persen, sementara Indeks K perusahaan mitra plasma hanya 90,66 persen," terangnya. 

Dalam penetapan harga yang berlangsung kemarin itu, ada 22 perusahaan yang menjadi sumber data penetapan harga TBS petani plasma. 

Namun yang melakukan penjualan CPO hanya 14 perusahaan. Terus, dari total sumber data tadi, 5 perusahaan di antaranya melakukan penjualan kernel. 

Sementara untuk sumber data harga TBS petani swadaya, ada 9 perusahaan meski hanya satu di antaranya yang melakukan penjualan CPO dan 6 melakukan penjualan kernel. 

"Selain merujuk pada sumber data tadi, kami juga mengambil tender harga CPO di PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN), sebagai rujukan," ujar Defris. 

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah harga yang ditetapkan di atas benar-benar berlaku di lapangan? Agaknya belum tentu. 

 

Adalah Parianto, warga Desa Indrasakti Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar, Riau. Waktu harga penetapan di Dinas Perkebunan Provinsi Riau di level Rp2.700 per kilogram, di Peron --- pengumpul besar --- sawitnya justru hanya dibanderol Rp1.800 per kilogram. Padahal umur tanamannya sudah di atas 9 tahun. 

"Di PKS yang ada di sekitar desa ini juga enggak ada harganya sampai Rp2.700. Contoh nih, ada PKS yang jaraknya 15 kilometer dari desa kami ini. Harga di sana hanya Rp2.100 per kilogram. Jadi, bingung juga di penetapan tinggi tapi di lapangan malah kayak gini," katanya. 

Di periode yang sama, di kawasan Kempas Jaya Indragiri Hilir, Riau, harga TBS petani swadaya di Peron setempat justru dibanderol Rp1.970 dan di periode terbaru ini kabarnya naik Rp50 per kilogram.  

"Kami enggak pernah tahu harga di PKS berapa. Sebab kami enggak pernah berhubungan langsung dengan PKS," kata Tedi Susilo, salah seorang petani swadaya di sana. 

Lelaki 54 tahun ini menyebut, memang teramat sulit mendapatkan harga TBS petani swadaya di lapangan, sama dengan harga penetapan. 

Sebab banyak faktor yang membikin harga itu enggak bisa ketemu. Mulai dari tahun tanam, bibit, pola panen hingga lokasi kebun yang jauh, menjadi sumber masalahnya. 

Tahun tanam misalnya. Sudah lumrah terjadi kalau umur tanaman sawit petani swadaya, sangat beragam, jangankan dalam satu desa, di kebun satu orang petani saja, tahun tanamnya bisa berbeda. 

"Bisa jadi lantaran sebelumnya ada tanaman yang mati, lalu disisip lagi. Ini akan membikin tahun tanam menjadi berbeda," kata Ketua Bidang Sumber Daya Manusia (SDM) DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Riau ini.

Dari segi bibit, besar potensi tanaman sawit petani swadaya, bibitnya illegitimate. Potensi dura juga besar. Kalau sudah begini, kadar rendemen (minyak) akan menjadi masalah. 

Lalu pola panen. Tak semua petani bisa disiplin saat panen. Ada saja yang memanen buah mengkal. "Nah, oleh ragam umur, bibit dan pola panen tadi, akan membikin ukuran TBS juga akan beragam. Inilah yang kemudian dihadapi oleh peron, katanya. 

Peron, otomatis enggak bisa membeli TBS dengan cara memilah-milah. Sebab peron yang seperti ini akan cepat ditinggal petani. "Jadi, jualnya 'ramas' saja. Artinya, mau buah besar, kecil, dicampur saja dan harganya sama," terang Tedi. 

Meski macam mencari ketiak ular untuk mendapatkan harga yang sama dengan harga penetapan, Tedi mengaku senang dengan adanya harga penetapan tadi. 

"Biar ada acuan bagi kami petani di lapangan. Misalnya bila harga CPO Rp12 ribu. Kami sudah bisa mengira-ngira berapalah harga yang pas di lapangan. Bagi kami yang penting harga itu 'masuk'," ujarnya. 


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS