https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Persona

Ketua Harian DPP Apkasindo, Ir. Gus Dalhari Harahap

Perwira TNI, Manager Farmasi, Mengurusi Petani

Perwira TNI, Manager Farmasi, Mengurusi Petani

Gus Dalhari Harahap. foto: aziz

Gus lebih memilih menjadi karyawan biasa ketimbang menjadi perwira TNI AD. Sempat menjadi manager di dua perusahaan yang berbeda. 

Sejumlah anggota Polisi Militer mendadak datang ke Batavia Hotel  di kawasan Tambora Jakarta Barat. Para pekerja perusahaan Farmasi PT. Upjohn yang tinggal di hotel itu pun terkaget-kaget. 

Apalagi setelah mereka tahu, bahwa kedatangan para polisi militer itu justru mencari Gus Dalhari Harahap. Salah seorang dari mereka.  

Begitu ketemu dengan Gus yang saat itu masih berstatus karyawan magang di perusahaan asing itu, para tentara ini memberi hormat dan kemudian meminta Gus ikut mereka. 

Lagi-lagi para karyawan itu terbengong-bengong. Terbongkarlah kalau sebenarnya, Gus adalah seorang perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).

Dia sudah lama dicari lantaran tak pernah lagi masuk ke kesatuannya di Bagian Laboratorium Perindustrian TNI Angkatan Darat (Pindad) di Bandung Jawa Barat (Jabar). 

"Saya dibawa ke Satuan Komando Garnisun (Skogar) dekat Pasar Rumput Jakarta Selatan," kenang Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) ini. 

Di sana, lelaki yang kini sudah berusia 53 tahun itu ditahan selama 4 bulan. Setelahnya, Gus diberhentikan. 

Tak mudah sebenarnya bagi Gus untuk melepas dinas kebanggaannya itu, apalagi menjadi tentara dengan pangkat letnan dua, baru setahun dia jalani usai lulus Sekolah Perwira Wajib Militer (Sepawamil). Persis tahun 1991. 

Sebenarnya, tiga bulan sebelum ‘ditangkap’, Gus sudah bimbang. Apakah akan tetap bekerja di perusahaan asing tadi meski masih training tapi sudah bergaji Rp1 juta, atau lanjut sebagai perwira TNI-AD dengan gaji Rp70 ribu?

Gaji awal yang sudah besar dan akan terus naik serta embel-embel sejumlah bonus, meluluhkan hati Gus. Maka bulatlah pilihan dia lanjut jadi karyawan. 

"Saya lebih tertarik kerja di farmasi, Mas," curhat lah Gus kepada Edi Sukiswo, seniornya waktu kuliah di Akademi Kimia Analis di Bogor Jawa Barat. Kebetulan mereka lagi ketemuan di kampus almamaternya itu.
  
Edi yang sudah Product Manager di perusahaan farmasi itu, saban sabtu memang rutin ketemu Gus dan alumni lainnya di sana. 

Di kampus ini pula lah pertama kali Ketua DPW Apkasindo Sumut ini mengeluh soal pendapatannya yang tak seberapa tadi. 

Dibilang tak seberapa lantaran gaji anak ke-4 dari 6 bersaudara ini bukan untuk dia saja, tapi harus dibagi juga kepada orangtua dan adiknya. 

Belum lagi adiknya yang kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik (STP) Lenteng Agung, Jakarta, sedang butuh duit pula untuk membeli Nikon manual.

 

"Adik saya itu mengelunya sama emak. Dari mana emak dapat duit. Bebannya saja sudah banyak. Emak kami cuma guru SD, ayah pengurus masjid. Saat itu, kami memang termasuk keluarga yang kurang beruntunglah," kenangnya. 

Mendengar keluh-kesah panjang itu, Edi menawari Gus bekerja di Upjohn. "Loe kerja di perusahaan gue aja, bikinlah lamaran," Edi memberi solusi.

Singkat cerita, Gus diterima menjadi karyawan magang. Agar bisa tak ngantor dulu di Pindad, dia minta izin dengan alasan sakit. Padahal Gus ikut training di Cilodong, di pabrik milik perusahaan farmasi itu. 

Para peserta training termasuk Gus, diinapkan di Hotel Batavia tadi. Dari hotel ke pabrik dan sebaliknya, mereka diantar jemput. 

"Kalau mau mandi, biasanya saya harus nimba air dulu, dan kalau mau makan harus masak dulu. Di hotel itu semua sudah tersedia. Mau mandi tinggal putar kran, kamar tidur pakai pendingin udara. Benar-benar enaklah waktu itu," nyengir Gus mengenang semua itu. 

Yang membikin Gus makin sayang dengan Upjohn, denda yang dibebankan negara kepadanya lantaran disersi dari kedinasan, dibayar oleh perusahaan. 
“Salut saya. Denda itu enggak sedikit lho, Rp30 jutaan lah. Dibayarkan perusahaan itu tanpa harus menjadi utang saya,” katanya.  

Setelah pure jadi karyawan, Gus ditugasi di pabrik. "Loe mau terus di pabrik atau mau jadi marketing? Kalau di pabrik, loe akan susah naiknya. Pimpinannya jebolan UGM, Bro," Edi bertanya saat bertandang ke pabrik itu bersama tim marketingnya. 

"Kalau mau cepat naik, di marketing aja. Nanti loe gue suruh dites," Edi membujuk. Gus tak kuasa menolak dan akhirnya menjadi marketing di Jakarta.

 

Benar saja. Belum genap dua tahun, Gus sudah dipromosikan menjadi koordinator di area yang sama. 

Belum hitungan tahun, dia mendapat promosi lagi menjadi manager di Semarang, Jawa Tengah. "Wilayah kerjanya meliputi Semarang, Yogyakarta dan Solo. Kantor saya di Komplek Industri Kaligawe," katanya. 

Sekitar tahun ‘96, terjadi pergantian manajemen di Upjohn. Entah lantaran tidak nyaman lagi di perusahaan itu, Edi memilih mundur dan masuk ke perusahaan lain. 

Gus? Dia dipindahkan ke Surabaya. Jabatannya manager. "Kalau orang dengar jabatan saya, mereka pasti bilang saya hebat. Mereka enggak tahu kalau jabatan manager itu tanpa pegawai," Gus tertawa.

Jabatan manager tanpa anak buah itu tak lama disandang Gus. Selain mulai tak nyaman, dia juga tak betah Long Distance Relationship (LDR) alias pisah rumah terus dengan istrinya Nazlah Parinduri yang dia nikahi pada 1994. Soalnya selama Gus di Surabaya, Nazlah dia titip di rumah emaknya di kawasan Depok.   

Keluar dari Upjohn, Gus melamar pekerjaan di perusahaan asing lain; Rone Poleng. Perusahaan farmasi juga. 

Di sana dia langsung diterima jadi manager dan ditempatkan di Sumatera Utara (Sumut). "Saya satu-satunya rekrutan dari luar. Biasanya promosi jabatan itu justru untuk orang-orang di dalam perusahaan," kenangnya. 

Di Sumut lah kemudian Gus mulai kenal dengan dunia perkebunan. Soalnya, selain berhubungan dengan dokter-dokter, institusi pemerintahan dan swasta, dia juga menjalin hubungan dengan PTPN II dan IV. 

"Di PTPN II saya berhubungan dengan salah seorang Kepala Urusan. Namanya Hamdani. PTPN ini kan beli obatnya sekali setahun. Makanya apa yang dibutuhkan didata dulu. Di situlah hubungan saya dengan mereka semakin intens,” katanya.  

Tak hanya urusan pekerjaan yang kemudian jadi pembicaraan, tapi juga urusan kebun. Adalah Alimudin yang orang PTPN III menawari Gus kebun kelapa sawit di Aek Kanopan. Lelaki ini mau-mau saja membelinya.  

Sayang, Gus tak lama jadi manager. Bukan lantaran mengundurkan diri, tapi lantaran Rone Poleng terdampak krisis moneter yang terjadi di tahun 1998. 

“Keluar dari Rone, saya jadi kontraktor di PTPN. Jadi rekanan. Tapi tak lagi hanya soal farmasi. Apa saja kebutuhan PTPN yang dipercayakan kepada saya, saya penuhi. Ada mesin, alat lab, hingga ban,” ujarnya. 

Satu waktu, Hamdani cerita kalau kalau sebentar lagi akan ada rencana pembentukan asosiasi petani. Hamdani tidak langsung memberi tahu kapan dan dimana. Lagi pula, Gus tak begitu tertarik dengan cerita itu. 

“Waktu itu saya enggak kepikiran masuk organisasi. Yang ada di benak saya ya menekuni bisnis saja. Mana-mana kegiatan yang menyita waktu, saya belum mau ikuti,” katanya. 

Persis tahun 2000, Hamdani menyuruh Gus untuk berangkat ke Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Di sanalah pembentukan asosiasi petani sawit itu. Namanya Apkasindo.
 
Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) Kementerian Pertanian masa itu adalah Prof Agus Pakpahan dan Menteri Pertaniannya Bungaran Saragih. 

"Hamdan tak berangkat lantaran dia sibuk. Saya bilang ke dia saya sibuk juga. Alhasil kami berdua tak berangkat. Almarhum Pak Asmar Arsjad yang berangkat dan kemudian saya dengar beliau terpilih menjadi Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo," Gus mengenang. 

Apkasindo berdiri, Gus langsung menjadi anggota meski setelah dua tahun, dia baru bisa aktif. Bahkan sudah pula menjadi Sekretaris DPW Apkasindo Sumut dan Ketua Bidang di DPP. Effendy Panjaitan yang menjadi Ketua DPW kala itu. 

"Saya aktif sejak Apkasindo Kerja Sama Operasional (KSO) dengan PTPN IV. Waktu itu Ketua Umum DPP Apkasindo, Sumardi Syarif. Dia bekas karyawan Bank Rakyat Indonesia (BRI). KSO itu menjadi KSO pertama kelembagaan petani dengan PTPN IV. Kami titip olah Tandan Buah Segar (TBS). Kami bayar biaya olahnya. CPO dan inti untuk kami," lagi-lagi Gus mengenang.



 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS