https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Ragam

Pemerintah Dituntut Getol Sosialisasi

Pemerintah Dituntut Getol Sosialisasi

Dr Diana Chalil selaku Consortium Studies on Smallholder Palm Oil (CSSPO) USU. Foto: USU

"Revisi Perpres Nomor 43/2024 tidak terlalu krusial."

PERSOALAN yang sekarang penting  bukan pada syarat pengajuan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),  akan tetapi teknis pelaksanaan di lapangan yang perlu diperbaiki. 

Demikian disampaikan Dr Diana Chalil selaku Consortium Studies on Smallholder Palm Oil (CSSPO) pada Universitas Sumatera Utara (USU) terkait seretnya realisasi sertifikasi ISPO.

"Persyaratan STDB yang tadinya dianggap pekebun berat untuk melengkapi harus dipenuhi," kata Diana  beberapa hari lalu.

"Revisi Perpres Nomor 43/2024 tidak terlalu krusial meskipun tujuannya mempermudah petani," Diana menambahkan. 

Lalu, apa solusinya? Diana bilang, Pemerintah justru harus lebih getol menyosialisasikan keberadaan dan pentingnya sertifikasi ISPO. Ia melihat masih banyak pekebun swadaya yang belum pernah dengar legalitas tersebut. 

"Bisa melalui peningkatan informasi program secara maksimal, gelar pelatihan, dan koordinasi antar dinas dengan petani, serta ATR-BPN dilibatkan," bebernya. 

Ia lalu menuturkan pengalaman sejumlah organisasi non-pemerintah atau non-goverment organization (ornop/NGO dalam proses sertifikasi ISPO di lapangan.

Kata Diana, ternyata para aktovia ornop perlu membutuhkan waktu sekitar 1-3 tahun untuk proses engagement atau membangun keterlibatan petani sawit.

"Ditambah lagi perlu sekitar 1 tahun perlu pembentukan kelompok pekebun hingga bisa secara mandiri menjalankan proses sertifikasi ISPO," tegas Ketua Program Studi (Prodi) Magister Agribisnis Fakultas Pertanian (Faperta) USU ini.

Meski demikian, Diana yakin kalau secara konsep sertifikasi ISPO sudah cukup baik dan wajib dikantongi setiap usaha perkebunan sawit.

 

Seperti diketahui,  2025 menjadi tahun terakhir pemberlakuan wajib atau mandatori proses sertifikasi sawit berkelanjutan Indonesia atau ISPO, baik bagi pengusaha maupun petani sawit.

Di tingkat petani sawit sendiri, minat untuk ikut sertifikasi ISPO sangat minim karena begitu banyak kendala yang harus dihadapi.

Misalnya, proses sertifikasi ISPO membutuhkan banyak biaya dan waktu yang tidak sedikt. 

Di samping itu, petani juga diwajibkan harus memiliki surat tanda daftar budidaya (STDB) terlebih dahulu agar bisa ikut sertifikasi ISPO.

Prayudi Syamsuri selaku Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHP) pada Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian (Kementan), nantinya STDB tak lagi menjadi syarat wajib untuk ikut ISPO. 

Hal ini seiring upaya revisi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau yang ISPO.

"STDB bukan lagi menjadi persyaratan untuk mengajukan ISPO pekebun, tapi menjadi bagian dari penilaian ISPO," ungkapnya.

Itu artinya, nantinya, pekebun sawit yang belum mengantongi STDB tetap bisa mengikuti sertifikasi ISPO. 

Bagi pekebun sawit yang sudah mengantongi STDB, ini akan menjadi nilai tambah dalam penilaian tim auditor.

Namun, apapun upaya pemerintah, diprediksi pencapaian sertifikasi di tahun 2025 diprediksi akan meleset.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS