https://myelaeis.com


Copyright © myelaeis.com
All Right Reserved.
By : Aditya

Berita > Elaeisiana

Digempur Masalah Sang Primadona

Digempur Masalah Sang Primadona

Hamparan kebun kelapa sawit milik perusahaan di Bengkulu. foto: aziz

Sawit telah menjadi penopang ekonomi nasional. Tapi tanaman asal Mauritius Afrika Barat ini justru terus dijegal.  

Kalau dirunut semua apa yang dibilang oleh lelaki 55 tahun ini pada Forum Diskusi bertajuk ""Prospek Perkebunan Pasca UUCK" yang digelar di Swissbell Hotel Palangkaraya Kalimantan Tengah (Kalteng) dua hari lalu, terasa rumit persoalan yang dihadapi oleh industri sawit Indonesia. 

Sudahlah produksi melorot terus, industri sawit malah dihadapkan pada persoalan penjarahan, klaim kawasan hutan dan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) yang besarannya 20% dari luas lahan kebun perusahaan.  

Semua ini tidak terlepas dari aturan main yang terkesan dibuat-buat. Dibilang dibuat-buat lantaran aturan itu dimunculkan justru setelah industri sawit kadung menggelinding jauh. 

Misalnya soal klaim kawasan hutan. Pemerintah mengklaim, ada sekitar 3,5 juta hektar kebun kelapa sawit berada di dalam kawasan hutan. 

Ironisnya, mayoritas kebun yang diklaim itu justru kebun-kebun yang sudah tua. Tak hanya milik perusahaan, tapi juga masyarakat. 

Pertanyaan yang kemudian muncul, kok baru sekarang? Waktu kebun akan dibangun, kemana aje loe?

Yang membikin yang punya kebun menjadi tak habis pikir, tanpa pernah menunjukkan bukti-bukti kawasan hutan yang sah sesuai pasal 14 dan 15 UU 41 tahun 1999 jo UU 5 tahun 1967 tentang kehutanan dan pokok-pokok kehutanan, pemerintah kemudian mengeluarkan ultimum remidium sebagai alas penyelesaian persoalan itu.

Pasal 110A dan Pasal 110B dimunculkan pada UUCK cluster kehutanan. Yang Pasal 110B hanya membolehkan sawit satu daur. Habis itu lahan dikembalikan ke negara. 

"Aturan ini sangat memberatkan dan membutuhkan biaya besar," kata lelaki 55 tahun tadi dalam forum diskusi itu.  

Namanya Muhammad Hadi Sugeng Widiyono, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).  

Lelaki yang mulai merintis karir dari level asisten kebun ini kemudian menghamparkan data. Bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan 20 Surat Keputusan (SK) yang melibatkan tak kurang dari 2.128 perusahan. 

 

Di SK itu disebutkan bahwa ada 2,17 juta hektar lahan kebun kelapa sawit perusahaan masuk dalam kawasan hutan. 

Kalau yang 2,17 juta hektar ini didenda dan dicabut izinnya, Indonesia akan kehilangan 6,9 juta ton CPO. Ini setara dengan USD7,25 milyar atau Rp112 triliun nilai devisa.
 
Bicara devisa, beberapa tahun belakangan justru sawit lah yang telah menyelamatkan perekonomian negara. 

Devisa ekspor sawit saja mencapai angka Rp700 triliun. Belum lagi penghematan devisa impor solar fossil yang mencapai lebih dari Rp160 triliun. 

Gara-gara sawit ini pula, emisi karbon turun di angka 11 juta ton. Belum lagi ekonomi rakyat aman lantaran industri sawit ini telah menghidupi sekitar 16 juta keluarga. 

Dalam catatan PalmOil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), gara-gara sawit, pada 2022 Net Ekspor Non-Migas mengalami surplus besar. Dari hanya USD13,6 miliar pada 2015, menjadi USD78,8 miliar di 2022. 

Sementara Net Trade tanpa sawit dan B30 di 2022, surplus yang didapat hanya USD6,3 miliar. Tapi kalau dengan sawit dan B30, justru menjadi USD55,7 miliar. 

PASPI mengatakan, Surplus net trade tahun 2022 itu, menjadi net trade tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Sawit benar-benar sang primadona. 

Tapi capaian ini seolah-olah tak berarti apa-apa. Buktinya, sawit malah terkesan akan dihabisi. Padahal, data Bappenas 2021 menunjukkan, dari 190 juta hektar luas daratan Indonesia, 120 juta hektar diklaim kawasan hutan. 

Dari 120 juta hektar itu, 34 juta hektar tidak lagi berhutan. Dari 34 juta hektar ini, 14 juta hektar dinyatakan tanah terlantar. Kalau seluas ini tanah terlantar, kenapa sawit yang dikejar?

 

Soal kewajiban perusahaan membangun perkebunan rakyat seluas 20% dari total luas lahan kebun perusahaan, sudah berlaku sejak Permentan No. 26 Tahun 2007. Bagi perusahaan yang telah beroperasi sebelum tahun 2007 tidak diwajibkan. 

"Perusahaan-perusahaan anggota GAPKI telah melaksanakan kewajiban plasma sesuai dengan regulasi itu," ujar Hadi. 

Itu semua dilakukan kata Hadi lantaran sedari awal, GAPKI memang telah mewajibkan semua anggotanya untuk taat aturan. Beroperasi sesuai kebijakan dan regulasi yang ada. 

Hadi sangat berharap, kepastian hukum segera hadir. Ini demi mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi di Indonesia di masa datang. 

Maraknya penjarahan dan konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan, adalah dampak dari ketidakpastian hukum itu. 

Kalau kepastian hukum itu sudah ada kata Hadi, investasi akan aman. "Kami akan terus melangkah sesuai aturan dan regulasi," katanya. 

Gubernur Kalteng, Sugianto Sabran yang turut memberi sambutan di acara itu mengatakan bahwa tantangan yang dibilang Hadi tadi berdampak besar terhadap iklim investasi serta kehidupan masyarakat Kalteng. 

Soalnya daerah itu menjadi pemilik kebun sawit terluas ketiga di Indonesia. Mencapai 1,9 juta hektar. 

Daerah ini sedang mengalami krisis sosial akibat penjarahan besar-besaran terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah berlangsung dua tahun terakhir. 

Menurutnya, masalah ini berpangkal pada masalah kawasan hutan, dan masalah plasma. 

Lantaran itu, Sugianto berharap agar semua pihak mau mencari solusi bersama. Selain diskusi, butuh langkah riil menyikapi persoalan yang ada. 

Sugianto ingin, pengusaha atau siapa saja yang berinvestasi di Kalteng aman dan nyaman. Kalau sudah begitu, akan berdampak baik pada pembangunan dan masyarakat setempat. 

"Termasuk pada infrastuktur, kesehatan, pendidikan dan lainnya," ujar Sugianto. 


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS