"Sudah diberi tenggang waktu yang panjang, masa tertunggak juga."
SEMAKIN hari, tantangan agar areal persawahan tetap berproduksi kian berat dan beragam. Tapi komunitas petani padi di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) punya cara tradisional untuk menjawab tantangan semacam itu.
Tantangan mempertahankan agar sawah tetap diolah dan menghasilkan padi di daerah itu antara lain datang dari kian berkurangnya animo generasi muda --terutama dari kalangan terdidik-- untuk menerjuni sektor ini.
Persoalan lain, dari sisi eksternal. yaitu harga pupuk yang tergolong mahal. Kendati sudah disubsidi oleh pemerintah, tetap saja ada petani yang tidak mampu membeli pupuk sesuai yang dibutuhkan.
Persoalan selanjutnya terkait dengan pengolahan lahan, yaitu bagaimana cara mengolah areal persawahan untuk kemudian bisa ditanami dan menghasilkan padi.
Menjelang sawah bisa ditanami padi, terdapat beberapa tahapan pekerjaan yang harus dilalui. Dimulai dengan membalik semua tanah di areal persawahan, untuk kemudian mengolahnya menjadi halus sehingga layak ditanami padi.
Langkah selanjutnya melakukan penanaman padi. Usai ditanami padi, areal persawahan --terutama pada bagian pematang-- setidaknya harus dibersihkan dua kali. Kalau tidak, bukan tidak mungkin tanaman padi akan dibalut oleh semak-semak.
Setelah itu, tinggal menunggu padi untuk disabit atau dipanen. Rata-rata pada umur tanaman sekitar tiga bulan 10 hari, sangat tergantung dengan varietas padi yang ditanam.
Semua tahapan pengerjaan areal persawahan, baik yang bersifat pengolahan atau pembersihan lahan, tidak semua petani yang bisa melakukannya sendiri-- terlebih bagi petani yang areal persawahannya tergolong luas.
Sejumlah petani padi sawah di Nagari Koto Alam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), mengaku tidak kuat untuk mengerjakan semua itu.
Banyak di antara petani berharap terjadi regenerasi di sektor ini. Artinya, ketika usia semakin tua juga, saatnya pengerjaan areal persawahan diserahkan kepada anak-anak. Kalau pun tidak penuh, minimal bisa meringankan.
Tapi, seperti disinggung di atas, banyak harapan yang tidak ketemu pada tataran kenyataan. Upik Rima, 47, misalnya, mengaku dua anak perempuannya tidak pernah mau membantunya mengolah sawah.
"Mungkin karena sempat mengecap jenjang pendidikan menengah atas, jadi enggan kerja tani," kata Upik Rima menduga-duga.
Ada opsi, yaitu memanfaatkan mekanisasi pertanian, setidaknya untuk jenis pekerjaan tertentu.
Sama dengan kasus di atas, untuk persoalan seperti ini tidak juga semua petani punya uang untuk menyewa alat dan mesin pertanian (alsintan). Apalagi sebagian besar pemilik alsintan menerapkan sistem bayar cash setelah alsintan digunakan.
Bagaimana areal persawahan tetap bisa diolah pada waktunya?
"Sebagian petani, terutama bagi yang tidak punya uang kontan, memanfaatkan jasa kelompok julo-julo," ungkap Linar, 31, petani sawah di nagari yang sama. Nagari adalah unit pemerintahan terendah di Sumbar, sederajat dengan desa.
Julo-julo di Ranah Minang merupakan kelompok kerja, yang sebagian besar di antaranya beranggotakan perempuan. Setiap kelompok beranggotakan belasan sampai puluhan orang.
Kegiatan utama mereka adalah menjual jasa tenaga untuk mengolah areal pertanian, terutama areal tanaman pangan. Termasuk juga areal perkebunan dengan sejumlah komoditasnya
Dalam seminggu, biasanya kelompok ini memanfaatkan waktu dua hari untuk kegiatan julo-julo.
Apa keringanan bagi pemilik lahan pertanian bila memanfaatkan jasa kelompok julo-julo?
"Pembayaran upahnya bisa ditunda," terang Upik Rima, yang juga mengetuai kelompok julo-julo beranggotakan 17 orang perempuan.
Dikatakan, kapan pun memanfaatkan kelompok julo-julo untuk mengelola areal pertanian, pembayaran upah bisa dilakukan pada waktu tertentu.
"Biasanya menjelang puasa Ramadhan," imbuh Upik Rima. "Ketika itu semua upah kerja sudah harus bisa ditagih," ulasnya.
Ditegaskan, pada waktu itu dipastikan tidak adalagi upah kelompok julo-julo yang tertunggak di individu petani. "Ibarat tidak ada kayu jenjang pun dikeping, petani yang berutang pada kelompok julo-julo harus menyelesaikan utangnya, bagaimana pun caranya.".
Upik Rima menilai kelewatan kalau menjelang puasa Ramadhan masih ada utang upah kerja kelompok julo-julo yang tertunggak pada petani.
"Sudah diberi tenggang waktu yang panjang, masa tertunggak juga," sambung Upik Rima.
Tapi tetap saja ada petani yang tidak membayar upah kerja sebelum puasa Ramadhan itu. Entah memang karena sedang tidak punya uang atau sebagai upaya untuk berkilah.
Bila ditemukan kasus seperti itu, menurut Upik Rima, tidak jarang terjadi ribut-ribut antara ketua kelompok julo-julo dengan petani yang memanfaatkan tenaga anggota kelompok itu.
***
IMIN, 49, petani padi sawah lainnya di nagari yang sama, mengaku sering memanfaatkan kelompok julo-julo untuk mengolah areal persawahannya. Tiap musim tanam, Imin mengolah dua tumpak sawah.
"Sangat membantu," kata ibu empat anak ini. Terutama, jelas Imin, ketika areal persawahan menuntut jenis pengerjaan tertentu, ada pihak yang bisa dimanfaatkan tenaganya tanpa upah dibayar secara kontan.
"Suami saya hanya kerja serabutan, jarang kami punya uang kontan," katanya. Sementara areal persawahan kalau sudah waktunya disiangi, ya, harus dibersihkan.
Ida, 37, petani lain, juga mengaku sering memanfaatkan jasa kelompok julo-julo untuk melakukan jenis-jenis pekerjaan tertentu di sawahnya. "Karena pembayaran upah kerjanya bisa belakangan," ungkap Ida.
Reman, 61, pemuka masyarakat setempat, mengatakan antara petani dengan kelompok julo-julo terjalin dalam sebuah hubungan kerja yang saling membutuhkan.
Menurut Reman, pada satu sisi para anggota kelompok julo-julo membutuhkan pekerjaan sebagai bagian upaya meringankan beban suami dalam mencari nafkah keluarga.
Sementara, sambung Reman, petani membutuhkan kelompok julo-julo dalam menggarap areal pertanian tanpa upahnya langsung dibayar setelah pekerjaan selesai.
Itu artinya, petani terhindar dari praktek menelantarkan areal persawahan karena tidak punya kemampuan finansial untuk membayar upah pekerja.
Reman tidak menampik sebagian besar areal persawahan di daerah itu tetap bisa diolah dan tetap bisa berproduksi karena peran kelompok julo-julo.
"Namanya saja di perkampungan, tidak semua petani punya uang kontan pada saat dibutuhkan," terang Reman. "Apalagi kalau petani itu masih dibebani oleh biaya pendidikan anak-anaknya," tambah Reman.
Oleh karena peran yang dimainkan oleh kelompok julo-julo itu, menurut Leman, membuat hampir tidak ada areal persawahan di daerah itu yang tidak digarap oleh pemiliknya.
***
DEWI, 25, seorang anggota julo-julo, mengaku ikut bergabung dengan kelompok itu didorong oleh motif ekonomi. "Membantu suami mencari nafkah," alasannya.
Kalau untuk pemenuhan kebutuhan harian plus biaya-biaya lain diupayakan oleh suami, menurut Dewi, upah bekerja di lahan pertanian orang lain bersama kelompok julo-julo dialokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu.
Karena upah kerja diterima setiap menjelang bulan puasa Ramadhan, menurut Dewi, uangnya dimanfaatkan untuk kebutuhan menyambut dan menjalani Ramadhan, termasuk menghadapi Idul Fitri.
Dijelaskan Dewi, tiap berkuli di lahan orang lain bersama kelompok julo-julo ia menerima upah Rp50.000 per hari. Kalau dalam sebulan ikut bekerja delapan hari, berarti ia dapat upah Rp400.000.
"Kalikan saja berapa kali ikut bekerja selama setahun, itulah yang akan diterima menjelang puasa Ramadhan," ungkap ibu tiga anak, yang bersuamikan tukang bangunan ini.
Nina, 31, anggota julo-julo lainnya, mengaku sudah lama ikut kelompok itu. "Sudah puluhan tahun," ungkap Nina, yang sudah sejak lama menjadi tulang punggung keluarga setelah ditinggalkan sang suami untuk selama-lamanya
Ibu tiga anak ini mengaku, hanya dengan bergabung bersama kelompok julo-julolah yang memungkinkan dirinya menerima uang dalam jumlah besar-- setidaknya "besar" dalam ukuran Nina sendiri.